Selasa, 12 November 2013

Naik Mesin Waktu di Lasem, Kota Dengan Berjuta Pusaka

Where on earth is Lasem? Mungkin jadi pertanyaan yang banyak sekali ditanyakan ketika mendengar nama kota kecil ini. Well, Google dan Wikipedia akan senang sekali menjawabnya untukmu. Terletak di Jawa TengahLasem sesungguhnya merupakan salah satu kota dengan banyak peninggalan pusaka penting di tanah air. Yang tak bisa dijelaskan Google adalah bagaimana Lasem menjadi kota yang istimewa, at least istimewa buat saya. Di Lasemlah saya menemukan rumah baru sekaligus merasakan naik mesin waktu yang sesungguhnya!
Perjalanan naik mesin waktu dimulai saat Bus Madu Kismo yang saya tumpangi memasuki Terminal Lama, Lasem. Teriknya matahari khas pantura dan udara laut yang lengket menyambut kaki melangkah keluar dari bus. Enam belas jam waktu perjalanan yang ditempuh dari Jakarta terasa semakin melelahkan dan jauh dengan cuaca seterik itu. Namun, senyum sahabat saya yang sudah menunggu di depan pintu bus mengusir lelah yang saya dirasa. Pop, sahabat saya itu, berdiri di depan pintu bus dengan senyum selebar topinya dan kacamata hitam ala tahun 80an. “Yuk, jalan-jalan (ke zaman) dulu, Hun”, katanya sambil menarik tangan saya naik ke atas motor RX King yang suara knalpotnya bergaung-gaung lantang ke udara.
Tanpa mampir ke hotel, Pop mengajak saya merasakan masakan khas yang sudah turun temurun disajikan hanya di Lasem. Here goes the fantastic taste of Luntung Tuyuhan yang dipadu dengan segarnya es kelapa muda asli Lasem; enak banget! Lontong sayur spesialisasi warga Desa Tuyuhan ini rupanya seperti lontong opor dengan kuah kuning biasa yang disajikan dengan ayam dan tempe. Namun ketika potong demi potong lontong masuk ke mulut, ingatan-ingatan tentang masakan rumah eyang menyergap otak saya. Rasanya sederhana dengan pedas klasik kuah penuh lada, tidak ada tambahan penyedap apalagi potongan labu siam seperti kuah lontong sayur kebanyakan. Konon, rasa enak Lontong Tuyuhan ini hanya bisa dibuat oleh warga Desa Tuyuhan saja, lho! Pop tertawa-tawa senang melihat saya makan lontong dengan lahap dan nambah dua porsi.
liburan
Luntung Tuyuhan, masakan turun menurun di Lasem
Setelah perut kenyang dan dahaga terpuaskan, dengan RX King yang menggema, Pop mengajak saya menelusuri tepi pantai Lasem yang di sepanjang jalannya penuh dengan penjual ikan asin. Panas terik pantura dan aroma ikan asin yang menyengat membuat saya ingin guyuran air dingin saat itu juga! Entah kenapa Pop tak kunjung melajukan motornya ke arah hotel. Ia malah menghentikan motornya di sebuah sudut pantai sepi yang tidak terurus. “Kalau beruntung, kita bisa bertemu kerangka manusia di sini, Hun”, katanya dengan santai. Tentu perkataan Pop tersebut membuat saya bergidik ngeri. Bertemu kerangka manusia bukan sesuatu yang bisa dibawa santai, bukan? tapi Pop sungguh, sungguh santai menelusuri tebing pantai yang terkena abrasi. Tangannya menjelajah tepi tebing mencari serpihan gigi atau tulang belulang yang tertimbun. Saya yang ketakutan hanya berdiri tertegun di sebuah gundukan karang, berpura-pura menikmati suasana pantai sambil memperhatikan Pop yang asyik sendiri dengan pencarian tulangnya. Tak beberapa saat Pop berteriak dari kejauhan “Di karang tempatmu berdiri itu dikubur kerangka manusia berusia 640 tahun sebelum masehi, lho, Hun!” – dan mendadak kaki saya terasa kaku. Saya berdiri di atas kuburan manusia pra-sejarah!!
liburan
Leran sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta
Ternyata Pantai Leran, tepi pantai yang saya kunjungi ini, memang sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta. Di sepanjang tepi pantai banyak ditemui serpihan-serpihan artefak dan tulang belulang manusia pra-sejarah yang diduga penutur bahasa asli Austronesia. Saya jadi semangat menyusuri tepi pantai mencari serpihan prasejarah yang tercerai-berai! Akan keren kalau  berhasil membawa pulang sepotong tulang atau pecahan tembikar dari zaman pra-sejarah, hehe. Pencarian serpihan masa lalu di Pantai Leran berakhir dengan ditemukannya sebuah cangkang kerang yang diduga perhiasan zaman pra-sejarah dan sekeping keramik kuno yang tertimbun di pasir. Si cangkang historis langsung tergantung manis di leher saya.
Perjalanan naik mesin waktu berlanjut dengan blusukan ke daerah pecinan di Lasem, Desa Karangturi. Di sini saya nggak bisa berhenti tolah-toleh menyaksikan rumah-rumah Cina kuno yang berderet di sepanjang jalan. Rasanya seperti  berada di setting film White Snake Legend dengan Pai Su Chen-nya yang legendaris! Atap yang tinggi melengkung dengan tembok yang nyaris menghitam menunjukkan seberapa tua umur rumah –rumah tersebut. Uniknya, di depan setiap pintu terpasang informasi berapa jumlah penghuni rumah. Pintu kayu dengan cat warna terang yang memudar memanggil-manggil minta dibuka. Ingin rasanya blusukan lebih dalam dan menikmati aroma kenangan dari salah satu rumah. Tiba-tiba, Pop menghentikan motornya di depan salah satu rumah yang cukup kuno. Keinginan saya jadi kenyataan.
“Selamat datang di Rumah Oma-Opa”, kata Pop. Dari balik celah pintu, saya mengintip penasaran ke dalam rumah yang halamannya luas. Di tengah-tengah undakan, seorang pria tua duduk sambil memandang kami dengan heran. Pop berteriak dengan lantang memanggil pria tua itu layaknya kawan lama “Om, aku datang bawa teman!” – dan pria tua yang lebih pantas dipanggil Opa daripada Om itu langsung berjalan merangkak dengan susah payah untuk membukakan pagar. Sungguh, sungguh terasa seperti mendapat sambutan dari  orang yang berbeda era.
Setelah salim tangan dengan si Om, saya melangkahkan kaki ragu-ragu masuk ke dalam rumah. “Anggap saja rumah oma-opamu sendiri, Kenya”, kata Pop menenangkan. Saya hanya tertawa kering sambil kepo melihat-lihat kesekeliling. Rumah ini adalah rumah yang dibangun oleh Engkong, kakek si Om. Talang air, sumur, pilar dan tegelnya semua masih asli, kuat dan belum pernah diganti sama sekali. Jendelanya yang besar-besar tertutup oleh jeruji yang catnya mengelupas, pintunya berat seperti dari Jati dan lantainya berdebu. Di sekeliling rumah terdapat banyak foto-foto kerabat dari masa lalu yang sudah kehilangan konteks karena si Om sudah lupa nama-nama mereka. How I wish I could preserve memory.
liburan
Rumah bergaya Tionghoa di Lasem (FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Om Kanarji sekarang sudah 86 tahun. Di usia tuanya ia tinggal bersama Tante Sri, sepupunya, dan penjaga rumah yang jago masak, Mbak Minuk. Sehari-hari mereka tinggal dan merawat rumah bersama-sama. Mbak Minuk selalu masak makanan enak dan memandikan Tante. Om Kanarji dan Tante Sri senang kalau ada teman yang berkunjung. Walau pendengarannya sudah berkurang, Om dan Tante masih seru diajak ngobrol ngalor ngidul. Rumah Oma-Opa ini memang bukan tourist attraction  di Lasem. Rumah Oma-Opa adalah rumah yang menawarkan cerita dan kenangan masa lalu, rumah baru tempat saya pulang. Di sini kita bisa bernostalgia bersama Om, Tante dan Mbak Minuk, berkisah tentang banyak hal sambil mendengarkan lagu-lagu kenangan dan menikmati kekunoan rumah. Kisah-kisah kejayaan masa lalu Lasem terekam kuat di seluruh penjuru rumah, membawa kenangan dan imajinasi bangkit menari-nari di depan mata. Saya menghabiskan sisa hari di Rumah Oma-Opa dengan tenang, bebas dari panas terik pantura tetapi masih terasa seperti di Lasem. Sekarang sekujur badan saya jadi bau kenangan, bikin nggak pingin guyuran air dingin dan nggak pingin menginap di hotel.
Lasem memang cocok untuk liburan para pecinta kenangan dan masa lalu. Banyak sekali situs bersejarah yang penuh cerita dan misteri, menanti untuk diteliti. Dari mulai wisata sejarah, religi, budaya dan kuliner semua lengkap ada di Lasem. Semoga di tahun-tahun berikutnya Lasem bisa mewujudkan mimpi menjadi Kota Pusaka Dunia.
Penjelajahan naik mesin waktu menelusuri Lasem mengingatkan kalau ingatan dan kenangan adalah sesuatu yang bisa hilang kapan saja –harus dilestarikan!  Wangi kenangan hanya bisa dihirupi ketika ia kadang-kadang mampir. Seperti hari itu ketika mampir ke Rumah Oma-Opa.

Naik Mesin Waktu di Lasem, Kota Dengan Berjuta Pusaka

Where on earth is Lasem? Mungkin jadi pertanyaan yang banyak sekali ditanyakan ketika mendengar nama kota kecil ini. Well, Google dan Wikipedia akan senang sekali menjawabnya untukmu. Terletak di Jawa TengahLasem sesungguhnya merupakan salah satu kota dengan banyak peninggalan pusaka penting di tanah air. Yang tak bisa dijelaskan Google adalah bagaimana Lasem menjadi kota yang istimewa, at least istimewa buat saya. Di Lasemlah saya menemukan rumah baru sekaligus merasakan naik mesin waktu yang sesungguhnya!
Perjalanan naik mesin waktu dimulai saat Bus Madu Kismo yang saya tumpangi memasuki Terminal Lama, Lasem. Teriknya matahari khas pantura dan udara laut yang lengket menyambut kaki melangkah keluar dari bus. Enam belas jam waktu perjalanan yang ditempuh dari Jakarta terasa semakin melelahkan dan jauh dengan cuaca seterik itu. Namun, senyum sahabat saya yang sudah menunggu di depan pintu bus mengusir lelah yang saya dirasa. Pop, sahabat saya itu, berdiri di depan pintu bus dengan senyum selebar topinya dan kacamata hitam ala tahun 80an. “Yuk, jalan-jalan (ke zaman) dulu, Hun”, katanya sambil menarik tangan saya naik ke atas motor RX King yang suara knalpotnya bergaung-gaung lantang ke udara.
Tanpa mampir ke hotel, Pop mengajak saya merasakan masakan khas yang sudah turun temurun disajikan hanya di Lasem. Here goes the fantastic taste of Luntung Tuyuhan yang dipadu dengan segarnya es kelapa muda asli Lasem; enak banget! Lontong sayur spesialisasi warga Desa Tuyuhan ini rupanya seperti lontong opor dengan kuah kuning biasa yang disajikan dengan ayam dan tempe. Namun ketika potong demi potong lontong masuk ke mulut, ingatan-ingatan tentang masakan rumah eyang menyergap otak saya. Rasanya sederhana dengan pedas klasik kuah penuh lada, tidak ada tambahan penyedap apalagi potongan labu siam seperti kuah lontong sayur kebanyakan. Konon, rasa enak Lontong Tuyuhan ini hanya bisa dibuat oleh warga Desa Tuyuhan saja, lho! Pop tertawa-tawa senang melihat saya makan lontong dengan lahap dan nambah dua porsi.
liburan
Luntung Tuyuhan, masakan turun menurun di Lasem
Setelah perut kenyang dan dahaga terpuaskan, dengan RX King yang menggema, Pop mengajak saya menelusuri tepi pantai Lasem yang di sepanjang jalannya penuh dengan penjual ikan asin. Panas terik pantura dan aroma ikan asin yang menyengat membuat saya ingin guyuran air dingin saat itu juga! Entah kenapa Pop tak kunjung melajukan motornya ke arah hotel. Ia malah menghentikan motornya di sebuah sudut pantai sepi yang tidak terurus. “Kalau beruntung, kita bisa bertemu kerangka manusia di sini, Hun”, katanya dengan santai. Tentu perkataan Pop tersebut membuat saya bergidik ngeri. Bertemu kerangka manusia bukan sesuatu yang bisa dibawa santai, bukan? tapi Pop sungguh, sungguh santai menelusuri tebing pantai yang terkena abrasi. Tangannya menjelajah tepi tebing mencari serpihan gigi atau tulang belulang yang tertimbun. Saya yang ketakutan hanya berdiri tertegun di sebuah gundukan karang, berpura-pura menikmati suasana pantai sambil memperhatikan Pop yang asyik sendiri dengan pencarian tulangnya. Tak beberapa saat Pop berteriak dari kejauhan “Di karang tempatmu berdiri itu dikubur kerangka manusia berusia 640 tahun sebelum masehi, lho, Hun!” – dan mendadak kaki saya terasa kaku. Saya berdiri di atas kuburan manusia pra-sejarah!!
liburan
Leran sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta
Ternyata Pantai Leran, tepi pantai yang saya kunjungi ini, memang sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta. Di sepanjang tepi pantai banyak ditemui serpihan-serpihan artefak dan tulang belulang manusia pra-sejarah yang diduga penutur bahasa asli Austronesia. Saya jadi semangat menyusuri tepi pantai mencari serpihan prasejarah yang tercerai-berai! Akan keren kalau  berhasil membawa pulang sepotong tulang atau pecahan tembikar dari zaman pra-sejarah, hehe. Pencarian serpihan masa lalu di Pantai Leran berakhir dengan ditemukannya sebuah cangkang kerang yang diduga perhiasan zaman pra-sejarah dan sekeping keramik kuno yang tertimbun di pasir. Si cangkang historis langsung tergantung manis di leher saya.
Perjalanan naik mesin waktu berlanjut dengan blusukan ke daerah pecinan di Lasem, Desa Karangturi. Di sini saya nggak bisa berhenti tolah-toleh menyaksikan rumah-rumah Cina kuno yang berderet di sepanjang jalan. Rasanya seperti  berada di setting film White Snake Legend dengan Pai Su Chen-nya yang legendaris! Atap yang tinggi melengkung dengan tembok yang nyaris menghitam menunjukkan seberapa tua umur rumah –rumah tersebut. Uniknya, di depan setiap pintu terpasang informasi berapa jumlah penghuni rumah. Pintu kayu dengan cat warna terang yang memudar memanggil-manggil minta dibuka. Ingin rasanya blusukan lebih dalam dan menikmati aroma kenangan dari salah satu rumah. Tiba-tiba, Pop menghentikan motornya di depan salah satu rumah yang cukup kuno. Keinginan saya jadi kenyataan.
“Selamat datang di Rumah Oma-Opa”, kata Pop. Dari balik celah pintu, saya mengintip penasaran ke dalam rumah yang halamannya luas. Di tengah-tengah undakan, seorang pria tua duduk sambil memandang kami dengan heran. Pop berteriak dengan lantang memanggil pria tua itu layaknya kawan lama “Om, aku datang bawa teman!” – dan pria tua yang lebih pantas dipanggil Opa daripada Om itu langsung berjalan merangkak dengan susah payah untuk membukakan pagar. Sungguh, sungguh terasa seperti mendapat sambutan dari  orang yang berbeda era.
Setelah salim tangan dengan si Om, saya melangkahkan kaki ragu-ragu masuk ke dalam rumah. “Anggap saja rumah oma-opamu sendiri, Kenya”, kata Pop menenangkan. Saya hanya tertawa kering sambil kepo melihat-lihat kesekeliling. Rumah ini adalah rumah yang dibangun oleh Engkong, kakek si Om. Talang air, sumur, pilar dan tegelnya semua masih asli, kuat dan belum pernah diganti sama sekali. Jendelanya yang besar-besar tertutup oleh jeruji yang catnya mengelupas, pintunya berat seperti dari Jati dan lantainya berdebu. Di sekeliling rumah terdapat banyak foto-foto kerabat dari masa lalu yang sudah kehilangan konteks karena si Om sudah lupa nama-nama mereka. How I wish I could preserve memory.
liburan
Rumah bergaya Tionghoa di Lasem (FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Om Kanarji sekarang sudah 86 tahun. Di usia tuanya ia tinggal bersama Tante Sri, sepupunya, dan penjaga rumah yang jago masak, Mbak Minuk. Sehari-hari mereka tinggal dan merawat rumah bersama-sama. Mbak Minuk selalu masak makanan enak dan memandikan Tante. Om Kanarji dan Tante Sri senang kalau ada teman yang berkunjung. Walau pendengarannya sudah berkurang, Om dan Tante masih seru diajak ngobrol ngalor ngidul. Rumah Oma-Opa ini memang bukan tourist attraction  di Lasem. Rumah Oma-Opa adalah rumah yang menawarkan cerita dan kenangan masa lalu, rumah baru tempat saya pulang. Di sini kita bisa bernostalgia bersama Om, Tante dan Mbak Minuk, berkisah tentang banyak hal sambil mendengarkan lagu-lagu kenangan dan menikmati kekunoan rumah. Kisah-kisah kejayaan masa lalu Lasem terekam kuat di seluruh penjuru rumah, membawa kenangan dan imajinasi bangkit menari-nari di depan mata. Saya menghabiskan sisa hari di Rumah Oma-Opa dengan tenang, bebas dari panas terik pantura tetapi masih terasa seperti di Lasem. Sekarang sekujur badan saya jadi bau kenangan, bikin nggak pingin guyuran air dingin dan nggak pingin menginap di hotel.
Lasem memang cocok untuk liburan para pecinta kenangan dan masa lalu. Banyak sekali situs bersejarah yang penuh cerita dan misteri, menanti untuk diteliti. Dari mulai wisata sejarah, religi, budaya dan kuliner semua lengkap ada di Lasem. Semoga di tahun-tahun berikutnya Lasem bisa mewujudkan mimpi menjadi Kota Pusaka Dunia.
Penjelajahan naik mesin waktu menelusuri Lasem mengingatkan kalau ingatan dan kenangan adalah sesuatu yang bisa hilang kapan saja –harus dilestarikan!  Wangi kenangan hanya bisa dihirupi ketika ia kadang-kadang mampir. Seperti hari itu ketika mampir ke Rumah Oma-Opa.

WISATA SEJARAH KARTINI, KULINER DAN BUAH TANGAN LASEM

Salah satu kota impian yang sangat ingin kukunjungi sejak masih di bangku SD adalah Rembang. Pesona Kartini-lah yang mendorongku begitu ingin menginjakkan kaki di kota pantai ini. Di sinilah, pejuang perempuan Indonesia tersebut dimakamkan. Rembang sendiri terletak di pinggir pantai utara Jawa, masuk dalam wilayah Jawa Tengah. Pusat kota dilalui lalu lintas padat, terutama truk dan bis besar, baik siang dan malam hari. Tidaklah heran karena Rembang merupakan titik penting jalur pantura, singkatan dari pantai utara.
Meski menjadi salah satu titik pantura, perkembangan Rembang tidaklah semaju dua kabupaten tetangganya, Kudus dan Pati. Dua kabupaten ini terkenal karena berbagai pabrik seperti rokok rokok dan kacang, menjadikan perputaran ekonomi di 2 kota ini berjalan sangat baik. Berbeda dengan Rembang, baru masuk kota sudah terasa suasana sepi. Lebih sepi jika saja seliweran lalu lintas tidak menjarahinya.
Kabupaten ini masuk dalam daftar daerah tertinggal. Tingkat kemiskinan tergolong tinggi. Hampir 38 % dari sekitar 650 ribu penduduk Rembang, menurut data BPS, dikategorikan miskin. Kemiskinan meningkat drastis menjadi sekitar 60% pada saat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diluncurkan pemerintah pusat.
Swary Utami Dewi)
Patung Kartini di Depan Kompleks Pemakaman Keluarga (Foto: Swary Utami Dewi)
Lantas, apa saja daya pikat Rembang yang kutemui dalam kunjungan dua hariku pada awal Juni 2007? Jawaban pertama sudah barang tentu makam Kartini. Kurang setengah jam perjalanan dari pusat kota Rembang, tempat peristirahatan pahlawan nasional ini sudah bisa ditemui. Makam perempuan kelahiran Jepara tersebut terletak di kompleks pemakaman keluarga besar Djojo Adiningrat. Djojo Adiningrat merupakan Bupati Rembang ke-6. Dialah yang menikah dengan Kartini dan menjadikannya sebagai istri kedua.
Kartini sendiri lahir pada 21 April 1879, saat sang ayah menjabat Wedono Mayong. Saat berusia dua tahun, RM Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara. Sedari kecil, Kartini sudah terlihat berkemauan keras dan cerdas. Karena kelincahan dan kegesitannya, sang ayah menggelarinya Trinil, sesuai dengan nama burung kecil yang terkenal lincah. Kartini mencurahkan pikiran-pikirannya yang tergolong maju pada zaman itu melalui surat-surat kepada dua sahabat Belanda-nya, Stella dan Ny. Abendanon. Kumpulan surat Kartini kemudian dibukukan oleh Mr J.H. Abendanon pada 1911, 7 tahun sesudah dia wafat, dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Perempuan tangguh ini mangkat 4 hari sesudah melahirkan anaknya, R.M. Soesalit. Statusnya sebagai istri dari Bupati Rembang, menjadikan kota ini dipilih sebagai tempat peristirahatan akhir Kartini.
Swary Utami Dewi)
Makam Kartini di Rembang (Foto: Swary Utami Dewi)
Di komplek pemakaman keluarga besar Djojo Adiningrat juga ditemui makam sang Bupati, istri pertama dan para turunannya. Semua tertata rapi di suatu tempat berpagar dan beratap, mirip rumah megah dan besar. Di dekatnya, ada sebuah bangunan baru dalam tahap pembangunan. Menurut keterangan penjaga makam, jika bangunan utama sudah penuh, maka turunan lainnya yang meninggal, bisa dikebumikan di bangunan baru tersebut.
Di luar pagar bangunan, ditemui patung besar Kartini, menggunakan kebaya sambil memegang sebuah buku. Dari samping, patung ini menampakkan kecantikan perempuan Jawa. “Cantik ya,” kataku sambil mengagumi tampilan anggun Kartini.
Swary Utami Dewi)
Salah Satu Penjual Lontong Tuyuhan (Foto: Swary Utami Dewi)
Magnet kedua kutemui dari wisata kuliner. Teman lamaku di kampus dulu, yang sekarang menjadi pejabat penting di Rembang mengajakku mencicipi lontong Tuyuhan. Sekitar 15 menit berkendaraan dari pusat kota , sampailah kami di Desa Tuyuhan. Nampak deretan warung-warung menyambut kedatangan para pencinta lontong. Tidak sabar aku mencicipi makanan ini dan rasanya, wow, betul-betul menggoyang lidah. Lontong yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segitiga ini beraroma wangi. Lauknya bervariasi, bisa ayam kampung atau telur yang dimasak serupa gulai pedas dan opor. Saat menyentuh lindah, kelembutan dan rasa nikmat penganan inilah yang terasa. Selain lontong Tuyuhan, beberapa jenis masakan lain juga sempat dicicipi. Sebut saja nasi uduk khas Rembang dan nasi gandul. Semuanya memang membuat lidah berdecap nikmat.
Hal lain yang biasa kucari saat mengunjungi suatu tempat adalah kerajinan tangan yang bisa kubawa pulang. Temanku menyebut batik. Kontan aku tertarik ketika diajak berburu batik Lasem. Sekitar 15 menit dari Rembang, menjelang sore, sampailah kami ke Lasem, salah satu kecamatan yang ada di kabupaten ini. Tempat tersebut terkenal karena tradisi membatik penduduknya. Beberapa home industry bisa ditemui. Aku mengunjungi suatu industri rumah tangga P, yang cukup terkenal di sana . Di tempat tersebut, ada semacam toko kecil yang memajang mayoritas batik tulis khas Lasem. Kata temanku, kalau siang hari datang, aku bisa menjumpai para pembatik yang bekerja di bagian belakang toko.
Aku yang menggemari warna merah maron dan sejenisnya, dengan cepat mencomot dua batik bermotif merah bercampur coklat. Per potong batik yang memiliki panjang sekitar 3 meter berharga ratusan ribu. Harga yang lumayan ini memang layak untuk batik tulis, yang dibuat dengan penuh ketekunan oleh para pembatik yang rata-rata sudah berusia lanjut. “Jika mau batik murah dan masal, memang bukan di sini tempatnya, Mbak,” jelas seorang bapak yang duduk denganku di pendopo rumah jabatan temanku. “Warna yang relatif cerah, merah dan biru, dipadukan dengan motif unik dengan garis tegas yang semua dilukis tangan, menjadikan batik Lasem istimewa. Kadang-kadang satu batik bisa diselesaikan berminggu-minggu,” jelas bapak tersebut, yang memperkenalkan diri sebagai pendamping para pembatik Lasem. “Karena itulah harganya lumayan mahal. Tapi puaskan Mbak, membelinya?” tanya si bapak yang kujawab dengan anggukan setuju.
Namun, ternyata, keunikan dan mahalnya batik Lasem per lembar, belum bisa menjadikan nasib para pekerja pembatik bernasib lebih baik. Per hari, mereka umumnya dibayar Rp 4 – 6 ribu. Jika batik yang dikerjakan tergolong rumit dan sulit dan sang pembatik sudah tergolong ahli, dalam seminggu mereka bisa mendapatkan Rp 150 ribu.
Selain itu, sekarang, seni kerajinan tangan tersebut lebih banyak digeluti oleh mereka yang berusia lanjut. Golongan muda nampaknya mulai menoleh pergi dari tradisi unik leluhur mereka ini. Rembang yang panas di siang hari, mulai terasa senyap sesudah magrib, kecuali hiruk pikuk jalan utama yang dilalui banyak truk dan bis.
Namun apakah semua ini tetap menjadikan kabupaten Rembang diam dan tetap dalam posisi wilayah tertinggal? Beberapa kekuatan yang disebut di atas, jika tergarap dengan baik, bisa sedikit membantu dalam memulihkan citra Rembang. Usaha home industry seperti batik, ditambah berbagai jenis penganan lain, jika dikelola dengan tepat, bisa jadi cukup berperan dalam memutar roda perekonomian kabupaten. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus bisa melihat dengan jeli peluang yang bisa berfungsi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tidak untuk keuntungan pihak-pihak tertentu saja. Semoga Rembang bisa segera bangun dari tidur seperti slogan yang kulihat di salah satu sudut kota : Rembang bangkit!

Wisata Ziarah di Kauman Lasem

Wisata Ziarah di Kauman Lasem


Lasem adalah sebuah kecamatan kecil di pesisir utara pulau jawa yang masuk ke wilayah Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Daerah ini menjadi saksi sejarah peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu. Menyusuri gang-gang kampung di sekitar Lasem seolah berjalan menembus lorong waktu. Masih terlihat sisa-sisa bekas kejayaan masa lalu. Dalam sejarahnya (yang hampir terlupakan) daerah Lasem ini terkait erat dengan imperium besar kala itu, kerajaan Majapahit, Pajang, Mataram dan Demak. Mulai dari masa pra sejarah, Hindu-Budha, masa penyebaran agama Islam hingga jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
MAKAM DI MASJID JAMI LASEM
makam di kompleks masjid agung lasem rembang
Tidak lengkap rasanya ketika berkunjung ke Lasem, kita tidak berziarah ke makam Waliullah yang ada di sekitar masjid kauman, sekaligus belajar sejarah. Kawasan Kauman inilah yang menjadi center point dari kecamatan kecil di pantura ini. Lokasi Masjid Jami’ Lasem yang berada tepat di samping jalan pos – trans jawa, arah Semarang-Surabaya yang dibangun oleh Gubernur Jendral Herman William Daendels. Terdapat banyak perubahan setelah Masjid direnovasi. Empat pilar utama berdiri kokoh menyangga atap masjid. Kaligrafi ayat-ayat Qur’an terukir indah di pintu, jendela dan kusen masjid. Sebuah mimbar bergaya timur tengah yang biasa digunakan untuk khotbah Jumat juga penuh dengan ukiran yang memberi kesan njawani. Lantai marmer yang dingin menjadi alas para jama’ah ketika bersujud kepadaNYA.
INTERIOR MASJID JAMI LASEM
Masjid Jami’ Lasem Rembang
Makam-makam kuno para penyebar agama Islam ada di sekitar Masjid Jami’ Lasem. Situs inilah yang menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Lasem dari masa ke masa. Berikut beberapa diantaranya:
  • Makam Adipati Tejo Kusumo 1
Terletak di belakang masjid jami’, dekat dengan kompleks pertokoan dan area parkir bus pariwisata. Beliaulah yang pertama kali membangun masijid Jami’ Lasem di sebelah barat alun-alun pada tahun 1588 M. Sang ibu memberikan nama paraban/panggilan: “Bagus Serimpet” dan hingga kini beliau juga dikenal dengan nama Pangeran Srimpet. Karena sering bertapa/menyepi di Punthuk (bukit) Punggur, Adipati Tedjo Kusumo 1 juga mendapat julukan sebagai Ki Ageng Punggur. Putra dari Santi Wiro ini menikah dengan putri Sultan Pajang dan kemudian diangkat menjadi Adipati Lasem pertama pada tahun 1585 M, dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang yang berkedudukan di Kartasura. Wafat pada usia 77 tahun pada tahun 1632 M.
MAKAM ADIPATI TEJO KUSUMO 1
makam Adipati Tejokusumo 1 / Mbah Srimpet
  • Makam Mbah Sambu
Akulturasi arsitektural sangat terlihat pada makam Mbah Sambu yang terletak di sebelah utara Masjid. Bangunan makam berupa cungkup berbentuk joglo dari kayu jati. Di dalamnya terdapat cungkup (lagi) yang bentuk kubahnya unik layaknya gazebo pada taman peristirahatan ala kekaisaran China. Mbah Sambu memiliki nama asli Sayid Abdurrahman Basyaiban atau yang juga dikenal dengan nama Syekh Maulana Sam Bua Samarkandi. Menurut catatan sejarah, pada tahun 1625 M, Adipati Tejo Kusumo 1 mengundang beliau dari Tuban untuk menyebarkan agama Islam di Pantura Jawa khususnya daerah Lasem. Akhirnya Syekh Sam Bua diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa/istri selir. Beliau wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun.
  • Makam Mbah Kyai Ma’shoem Ahmad
Beliau adalah salah satu dari dua ulama besar di Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Memiliki nama asli Muhammadun, lahir pada tahun 1870. Sejak kecil Mbah Ma’shoem telah dikirim berguru ke pesantren² di penjuru pulau jawa untuk mendalami ilmu agama, termasuk belajar ke ulama yang masyhur Mbah Kholil Bangkalan Madura. Beliau mengasuh pesantren di Lasem dan mengajarkan kitab² salaf seperti Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, Ihya Ulumuddin, Al-Hikam ibn Athaillah, dll. Semasa hidupnya, Mbah Ma’shum terkenal dikaruniai karomah². Beliau wafat pada 28 April 1972 (14 Robiul Awal 1392 H) jam 2 siang, setelah shalat Jum’at. Upacara pemakamannya dihadiri oleh ribuan orang baik dari tokoh ulama, petinggi partai politik dan pejabat pemerintahan maupun masyarakat awam.
MAKAM KH MA'SHOEM AHMAD LASEM
makam Mbah KH Ma’shoem Ahmad & keluarga
Artikel ini juga dimuat dalam Ebook tentang Lasem yang berjudul: Lasem Kota Sejarah Yang Terpinggirkan Zaman yang dapat di download secara gratis di link iniEbook ini merupakan hasil karya teman² seperjalanan yang tergabung dalam #KeluargaLasem.
Note:
Postingan ini merupakan rangkuman dari berbagai sumber, baik dari hasil wawancara dengan warga lokal, pemerhati sejarah, buku & artikel² pendukung lain. Mohon maaf apabila ada data yang belum tepat. Dengan senang hati saya menerima kritik & masukan.

Peziarah Bisa Naik Kereta Gantung

Lasem – Investor asal Jakarta menyanggupi penataan kawasan Bonang dan Binangun Kec. Lasem, untuk disulap menjadi obyek wisata unggulan.
Kepala Desa Bonang Kec. Lasem, Syaeful Sodiqin mengaku kali pertama mendengar rencana tersebut dari Wakil Bupati Rembang, Abdul Hafidz. Pihaknya berharap segera terealisasi, supaya bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Apalagi Bonang mempunyai kekuatan wisata religi berupa makam serta peninggalan Sunan Bonang, sehingga sangat tepat kalau digabung dengan keindahan Pantai Binangun, yang dulu pada masa kerajaan Majapahit, pernah terkenal menjadi pelabuhan besar.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kab. Rembang, Sunarto membenarkan pimpinan investor dari Jakarta, Handoko sudah datang mengecek. Bahkan bertemu langsung dengan Bupati, Moch. Salim untuk menjajaki kerja sama dibidang pariwisata.
Saat ini investor masih berkonsentrasi menangani penataan obyek wisata Curug Sewu di Kendal. Kalau sudah selesai, mereka berjanji akan datang ke Lasem, memulai proyek Bonang – Binangun. Perkiraan tahun 2014 mendatang. Salah satu yang akan diwujudkan yakni pembuatan kereta gantung atau semacam gondola antara Pasujudan Sunan Bonang menuju Pantai Binangun di sebelah utaranya. Pengunjung bisa menikmati keindahan alam pegunungan dan pantai dari atas ketinggian. Kelak peziarahpun tidak perlu capek naik jalan berundak undak, untuk sampai ke kawasan Pasujudan Sunan Bonang.
Bupati juga menjanjikan pembangunan Masjid Apung di atas pantai, untuk mendukung pengembangan pariwisata di lokasi tersebut.
Sunarto menambahkan apabila investor sudah turun menggarap potensi wisata Bonang – Binangun, tentu warung warung yang ada di pinggir pantai harus dibongkar.
Bukan untuk menggusur, melainkan ditata menjadi lebih baik, agar mereka tetap bisa berjualan.

PASANG SURUT USAHA BATIK TULIS LASEM

Industri batik Lasem telah mengalami masa pasang surut. Puncak kejayaan batik Lasem terjadi pada sekitar akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1970-an. Industri batik yang cukup besar di Hindia Belanda saat itu adalah batik Surakarta, batik Yogyakarta, batik Pekalongan, batik Lasem, batik Cirebon, dan batik  Banyumas.
Pemasaran batik Lasem tidak hanya di wilayah Indonesia saja, tetapi juga meluas sampai ke wilayah Asia Timur terutama Jepang bahkan sampai ke Suriname. Sampai tahun 1970-an, industri batik Lasem menjadi salah satu penopang utama ekonomi masyarakat Lasem dan masyarakat di desa-desa sekitarnya. Sekitar 90 % penduduk Lasem khususnya kaum perempuan bekerja sebagai pengrajin, pengusaha, dan pekerjaan lain yang terkait dengan batik. Namun saat ini hanya tinggal 10% penduduk yang masih bekerja sebagai pembatik. Kemerosotan ini disebabkan oleh jumlah modal yang kecil, sehingga banyak pengusaha batik bangkrut dan menutup usahanya. Krisis moneter yang terjadi sekitar tahun 1997  berdampak pada industri batik Lasem yang semakin lesu.  Keadaan ini mengancam kelestarian usaha batik Lasem.
Para pembatik di Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang pada umumnya adalah para wanita yang berasal dari keluarga petani gurem atau buruh tani di 25 desa dari 4 kecamatan di Kabupaten Rembang. Pekerjaan membatik dilakukan pada waktu luang di antara masa tanam dan masa panen dengan tujuan untuk menambah penghasilan keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa industri batik Lasem memiliki peran yang sangat penting untuk perluasan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan di wilayah Kabupaten Rembang.
Kondisi industri batik Lasem yang semakin lesu sejak tahun 1997 sampai sekitar tahun 2003, terancam punah karena sebagian besar generasi muda tidak berminat menekuni pekerjaan sebagai pembatik atau usaha batik Lasem. Generasi muda di Kabupaten Rembang lebih banyak yang memilih bekerja di sektor  lain di luar industri batik, baik di dalam maupun di luar kota Rembang. Hal ini menimbulkan dua  masalah serius yaitu penghasilan penduduk miskin semakin merosot dan ancaman kepunahan batik Lasem.

SEJARAH LASEM

Menapaki Jejak Majapahit di Kajar, Lasem


Suwito (17), warga Desa Kajar, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tidak pernah tahu secara detail kisah sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit di Gunung Kajar, Pegunungan Lasem. Paling-paling siswa sebuah sekolah negeri di Lasem itu sebatas tahu nama dan letak lokasi peninggalan-peninggalan.

”Bapak dan Ibu tidak pernah cerita. Dahulu Kakek pernah cerita waktu saya masih kecil, tetapi sekarang sudah lupa. Di sekolah pun, sejarah lokal kurang mendapat perhatian,” kata Suwito yang turut menyaksikan kegiatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang menyusuri jejak-jejak Majapahit di Desa Kajar, Sabtu (15/8).

Desa Kajar terletak di lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari Pegunungan Lasem. Dari kota tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem, desa dengan sumber air yang melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan.

Desa Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan itu berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung Kajar.

Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari sejarah Kadipaten Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan laporan ”Rekonstruksi Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten Rembang, Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.

Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi, adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan, yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.

Dalam Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Mulyana, kisah Dewi Indu dan Rajasawardana tercatat di terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI. Dalam Pupuh V Ayat 1 disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta: Puteri jelita, bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama Indudewi Puteri Wijayarajasa”.

Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat 1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala”.

Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre Lasem Menurunkan puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.

Kawruh ajaran

Sejarawan Lasem, Slamet Widjaya, mengatakan, Lasem, khususnya Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.

”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,” kata Slamet.

Menurut dia, bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk berkunjung ke Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu sekaligus sebagai prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem membuat ukiran telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng Gunung Kajar.

Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada dan warga Desa Kajar meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki Hayam Wuruk. Warga kerap menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu tapak.

Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting Desa Kajar selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang terletak di Gunung Kajar.

Goa pertama merupakan tempat menyepi pejabat atau panglima Majapahit. Goa itu hanya muat untuk satu orang. Goa kedua merupakan tempat para prajurit yang dibawa pejabat atau panglima Majapahit itu berjaga-jaga. Goa kedua itu dapat memuat sekitar 15 orang.

Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah, pejabat atau panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia duduk di sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu sebagai kursi kajar.

Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar sebagai tempat yang membawa kesuburan bagi daerah lain karena banyak sumber mata air, Bhre Lasem membuat lingga berhuruf palawa di dekat lingga pada zaman batu dan salah satu mata air Kajar.

”Lantaran tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi. Begitu pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar kursi, juga tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi karena telah hancur sebagian,” kata Ketua Umum MSI Kabupaten Rembang Edi Winarno.

Pelestarian sejarah

Untuk melestarikan situs Majapahit di Desa Kajar, Lasem, MSI berupaya mengajak warga sekitar dan guru turut menjaga situs sesuai dengan peran mereka masing-masing. Sebagai langkah awal, MSI menapak tilas peninggalan-peninggalan itu bersama 100 guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah di Rembang. ”Kami berupaya memperkenalkan studi sejarah lokal berbasis realitas kepada para guru. Harapannya, mereka dapat menerapkan metode itu kepada murid-muridnya,” kata Edi.

Selain itu, lanjutnya, MSI berupaya mendokumentasikan situs sejarah Majapahit tersebut. Dokumentasi itu merupakan salah satu materi rekomendasi MSI kepada Pemerintah Kabupaten Rembang.

MSI berharap Pemkab Rembang menjadikan situs Majapahit di Lasem sebagai laboratorium sejarah. Situs itu dapat pula menjadi tempat wisata penyusuran jejak-jejak peninggalan Majapahit di Lasem.

”Selama ini, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa di Lasem ada peninggalan Majapahit. Pemkab pun selama ini kurang memedulikan aset sejarah dan wisata itu sehingga benda-benda di situs itu banyak yang tidak terawat,” ujarnya. (HEN)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/0323093/Menapaki.Jejak.Majapahit.di.Kajar..Lasem