Salah satu kota impian yang sangat ingin kukunjungi sejak masih di
bangku SD adalah Rembang. Pesona Kartini-lah yang mendorongku begitu
ingin menginjakkan kaki di kota pantai ini. Di sinilah, pejuang
perempuan Indonesia tersebut dimakamkan. Rembang sendiri terletak di
pinggir pantai utara Jawa, masuk dalam wilayah Jawa Tengah. Pusat kota
dilalui lalu lintas padat, terutama truk dan bis besar, baik siang dan
malam hari. Tidaklah heran karena Rembang merupakan titik penting jalur
pantura, singkatan dari pantai utara.
Meski menjadi salah satu titik pantura,
perkembangan Rembang tidaklah semaju dua kabupaten tetangganya, Kudus
dan Pati. Dua kabupaten ini terkenal karena berbagai pabrik seperti
rokok rokok dan kacang, menjadikan perputaran ekonomi di 2 kota ini
berjalan sangat baik. Berbeda dengan Rembang, baru masuk kota sudah
terasa suasana sepi. Lebih sepi jika saja seliweran lalu lintas tidak
menjarahinya.
Kabupaten ini masuk dalam daftar daerah tertinggal. Tingkat
kemiskinan tergolong tinggi. Hampir 38 % dari sekitar 650 ribu penduduk
Rembang, menurut data BPS, dikategorikan miskin. Kemiskinan meningkat
drastis menjadi sekitar 60% pada saat program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) diluncurkan pemerintah pusat.
Lantas, apa saja daya pikat Rembang yang kutemui dalam kunjungan dua
hariku pada awal Juni 2007? Jawaban pertama sudah barang tentu makam
Kartini. Kurang setengah jam perjalanan dari pusat kota Rembang, tempat
peristirahatan pahlawan nasional ini sudah bisa ditemui. Makam perempuan
kelahiran Jepara tersebut terletak di kompleks pemakaman keluarga besar
Djojo Adiningrat. Djojo Adiningrat merupakan Bupati Rembang ke-6.
Dialah yang menikah dengan Kartini dan menjadikannya sebagai istri
kedua.
Kartini sendiri lahir pada 21 April 1879, saat sang ayah menjabat
Wedono Mayong. Saat berusia dua tahun, RM Sosroningrat diangkat menjadi
Bupati Jepara. Sedari kecil, Kartini sudah terlihat berkemauan keras dan
cerdas. Karena kelincahan dan kegesitannya, sang ayah menggelarinya
Trinil, sesuai dengan nama burung kecil yang terkenal lincah.
Kartini mencurahkan pikiran-pikirannya yang tergolong maju pada zaman
itu melalui surat-surat kepada dua sahabat Belanda-nya, Stella dan Ny.
Abendanon. Kumpulan surat Kartini kemudian dibukukan oleh Mr J.H.
Abendanon pada 1911, 7 tahun sesudah dia wafat, dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang. Perempuan tangguh ini mangkat 4 hari sesudah
melahirkan anaknya, R.M. Soesalit. Statusnya sebagai istri dari Bupati
Rembang, menjadikan kota ini dipilih sebagai tempat peristirahatan akhir
Kartini.
Di komplek pemakaman keluarga besar Djojo Adiningrat juga ditemui
makam sang Bupati, istri pertama dan para turunannya. Semua tertata rapi
di suatu tempat berpagar dan beratap, mirip rumah megah dan besar. Di
dekatnya, ada sebuah bangunan baru dalam tahap pembangunan. Menurut
keterangan penjaga makam, jika bangunan utama sudah penuh, maka turunan
lainnya yang meninggal, bisa dikebumikan di bangunan baru tersebut.
Di luar pagar bangunan, ditemui patung besar Kartini, menggunakan
kebaya sambil memegang sebuah buku. Dari samping, patung ini menampakkan
kecantikan perempuan Jawa. “Cantik ya,” kataku sambil mengagumi
tampilan anggun Kartini.
Magnet kedua kutemui dari wisata kuliner. Teman lamaku di kampus
dulu, yang sekarang menjadi pejabat penting di Rembang mengajakku
mencicipi lontong Tuyuhan. Sekitar 15 menit berkendaraan dari pusat kota
, sampailah kami di Desa Tuyuhan. Nampak deretan warung-warung
menyambut kedatangan para pencinta lontong. Tidak sabar aku mencicipi
makanan ini dan rasanya, wow, betul-betul menggoyang lidah. Lontong yang
dibungkus dengan daun pisang berbentuk segitiga ini beraroma wangi.
Lauknya bervariasi, bisa ayam kampung atau telur yang dimasak serupa
gulai pedas dan opor. Saat menyentuh lindah, kelembutan dan rasa nikmat
penganan inilah yang terasa. Selain lontong Tuyuhan, beberapa jenis
masakan lain juga sempat dicicipi. Sebut saja nasi uduk khas Rembang dan
nasi gandul. Semuanya memang membuat lidah berdecap nikmat.
Hal lain yang biasa kucari saat mengunjungi suatu tempat adalah
kerajinan tangan yang bisa kubawa pulang. Temanku menyebut batik. Kontan
aku tertarik ketika diajak berburu batik Lasem. Sekitar 15 menit dari
Rembang, menjelang sore, sampailah kami ke Lasem, salah satu kecamatan
yang ada di kabupaten ini. Tempat tersebut terkenal karena tradisi
membatik penduduknya. Beberapa home industry bisa ditemui. Aku
mengunjungi suatu industri rumah tangga P, yang cukup terkenal di sana .
Di tempat tersebut, ada semacam toko kecil yang memajang mayoritas
batik tulis khas Lasem. Kata temanku, kalau siang hari datang, aku bisa
menjumpai para pembatik yang bekerja di bagian belakang toko.
Aku yang menggemari warna merah maron dan sejenisnya, dengan cepat
mencomot dua batik bermotif merah bercampur coklat. Per potong batik
yang memiliki panjang sekitar 3 meter berharga ratusan ribu. Harga yang
lumayan ini memang layak untuk batik tulis, yang dibuat dengan penuh
ketekunan oleh para pembatik yang rata-rata sudah berusia lanjut.
“Jika mau batik murah dan masal, memang bukan di sini tempatnya, Mbak,”
jelas seorang bapak yang duduk denganku di pendopo rumah jabatan
temanku. “Warna yang relatif cerah, merah dan biru, dipadukan dengan
motif unik dengan garis tegas yang semua dilukis tangan, menjadikan
batik Lasem istimewa. Kadang-kadang satu batik bisa diselesaikan
berminggu-minggu,” jelas bapak tersebut, yang memperkenalkan diri
sebagai pendamping para pembatik Lasem. “Karena itulah harganya lumayan
mahal. Tapi puaskan Mbak, membelinya?” tanya si bapak yang kujawab
dengan anggukan setuju.
Namun, ternyata, keunikan dan mahalnya batik Lasem per lembar, belum
bisa menjadikan nasib para pekerja pembatik bernasib lebih baik. Per
hari, mereka umumnya dibayar Rp 4 – 6 ribu. Jika batik yang dikerjakan
tergolong rumit dan sulit dan sang pembatik sudah tergolong ahli, dalam
seminggu mereka bisa mendapatkan Rp 150 ribu.
Selain itu, sekarang, seni kerajinan tangan tersebut lebih banyak
digeluti oleh mereka yang berusia lanjut. Golongan muda nampaknya mulai
menoleh pergi dari tradisi unik leluhur mereka ini. Rembang yang
panas di siang hari, mulai terasa senyap sesudah magrib, kecuali hiruk
pikuk jalan utama yang dilalui banyak truk dan bis.
Namun apakah semua ini tetap menjadikan kabupaten Rembang diam dan
tetap dalam posisi wilayah tertinggal? Beberapa kekuatan yang disebut di
atas, jika tergarap dengan baik, bisa sedikit membantu dalam memulihkan
citra Rembang. Usaha home industry seperti batik, ditambah berbagai
jenis penganan lain, jika dikelola dengan tepat, bisa jadi cukup
berperan dalam memutar roda perekonomian kabupaten. Dalam hal ini,
pemerintah daerah harus bisa melihat dengan jeli peluang yang bisa
berfungsi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tidak untuk
keuntungan pihak-pihak tertentu saja. Semoga Rembang bisa segera bangun
dari tidur seperti slogan yang kulihat di salah satu sudut kota :
Rembang bangkit!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar