Where on earth is Lasem? Mungkin jadi pertanyaan yang banyak sekali ditanyakan ketika mendengar nama kota kecil ini. Well, Google dan Wikipedia akan senang sekali menjawabnya untukmu. Terletak di Jawa Tengah, Lasem
sesungguhnya merupakan salah satu kota dengan banyak peninggalan pusaka
penting di tanah air. Yang tak bisa dijelaskan Google adalah bagaimana Lasem
menjadi kota yang istimewa, at least istimewa buat saya. Di Lasemlah
saya menemukan rumah baru sekaligus merasakan naik mesin waktu yang
sesungguhnya!
Perjalanan naik mesin waktu dimulai saat Bus Madu Kismo yang saya
tumpangi memasuki Terminal Lama, Lasem. Teriknya matahari khas pantura
dan udara laut yang lengket menyambut kaki melangkah keluar dari bus.
Enam belas jam waktu perjalanan yang ditempuh dari Jakarta terasa
semakin melelahkan dan jauh dengan cuaca seterik itu. Namun, senyum
sahabat saya yang sudah menunggu di depan pintu bus mengusir lelah yang
saya dirasa. Pop, sahabat saya itu, berdiri di depan pintu bus dengan
senyum selebar topinya dan kacamata hitam ala tahun 80an. “Yuk,
jalan-jalan (ke zaman) dulu, Hun”, katanya sambil menarik tangan saya
naik ke atas motor RX King yang suara knalpotnya bergaung-gaung lantang
ke udara.
Tanpa mampir ke hotel, Pop mengajak saya merasakan masakan khas yang sudah turun temurun disajikan hanya di Lasem. Here goes the fantastic taste of Luntung
Tuyuhan yang dipadu dengan segarnya es kelapa muda asli Lasem; enak
banget! Lontong sayur spesialisasi warga Desa Tuyuhan ini rupanya
seperti lontong opor dengan kuah kuning biasa yang disajikan dengan ayam
dan tempe. Namun ketika potong demi potong lontong masuk ke mulut,
ingatan-ingatan tentang masakan rumah eyang menyergap otak saya. Rasanya
sederhana dengan pedas klasik kuah penuh lada, tidak ada tambahan
penyedap apalagi potongan labu siam seperti kuah lontong sayur
kebanyakan. Konon, rasa enak Lontong Tuyuhan ini hanya bisa dibuat oleh
warga Desa Tuyuhan saja, lho! Pop tertawa-tawa senang melihat saya makan
lontong dengan lahap dan nambah dua porsi.
Setelah perut kenyang dan dahaga terpuaskan, dengan RX King yang
menggema, Pop mengajak saya menelusuri tepi pantai Lasem yang di
sepanjang jalannya penuh dengan penjual ikan asin. Panas terik pantura
dan aroma ikan asin yang menyengat membuat saya ingin guyuran air dingin
saat itu juga! Entah kenapa Pop tak kunjung melajukan motornya ke arah
hotel. Ia malah menghentikan motornya di sebuah sudut pantai sepi yang
tidak terurus. “Kalau beruntung, kita bisa bertemu kerangka manusia di
sini, Hun”, katanya dengan santai. Tentu perkataan Pop tersebut membuat
saya bergidik ngeri. Bertemu kerangka manusia bukan sesuatu yang bisa
dibawa santai, bukan? tapi Pop sungguh, sungguh santai
menelusuri tebing pantai yang terkena abrasi. Tangannya menjelajah tepi
tebing mencari serpihan gigi atau tulang belulang yang tertimbun. Saya
yang ketakutan hanya berdiri tertegun di sebuah gundukan karang,
berpura-pura menikmati suasana pantai sambil memperhatikan Pop yang
asyik sendiri dengan pencarian tulangnya. Tak beberapa saat Pop
berteriak dari kejauhan “Di karang tempatmu berdiri itu dikubur kerangka
manusia berusia 640 tahun sebelum masehi, lho, Hun!” – dan mendadak
kaki saya terasa kaku. Saya berdiri di atas kuburan manusia
pra-sejarah!!
Ternyata Pantai Leran, tepi pantai yang saya kunjungi ini, memang
sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta.
Di sepanjang tepi pantai banyak ditemui serpihan-serpihan artefak dan
tulang belulang manusia pra-sejarah yang diduga penutur bahasa asli
Austronesia. Saya jadi semangat menyusuri tepi pantai mencari serpihan
prasejarah yang tercerai-berai! Akan keren kalau berhasil membawa
pulang sepotong tulang atau pecahan tembikar dari zaman pra-sejarah,
hehe. Pencarian serpihan masa lalu di Pantai Leran berakhir dengan
ditemukannya sebuah cangkang kerang yang diduga perhiasan zaman
pra-sejarah dan sekeping keramik kuno yang tertimbun di pasir. Si
cangkang historis langsung tergantung manis di leher saya.
Perjalanan naik mesin waktu berlanjut dengan blusukan ke
daerah pecinan di Lasem, Desa Karangturi. Di sini saya nggak bisa
berhenti tolah-toleh menyaksikan rumah-rumah Cina kuno yang berderet di
sepanjang jalan. Rasanya seperti berada di setting film White
Snake Legend dengan Pai Su Chen-nya yang legendaris! Atap yang tinggi
melengkung dengan tembok yang nyaris menghitam menunjukkan seberapa tua
umur rumah –rumah tersebut. Uniknya, di depan setiap pintu terpasang
informasi berapa jumlah penghuni rumah. Pintu kayu dengan cat warna
terang yang memudar memanggil-manggil minta dibuka. Ingin rasanya blusukan
lebih dalam dan menikmati aroma kenangan dari salah satu rumah.
Tiba-tiba, Pop menghentikan motornya di depan salah satu rumah yang cukup kuno. Keinginan saya jadi kenyataan.
“Selamat datang di Rumah Oma-Opa”, kata Pop. Dari balik celah pintu,
saya mengintip penasaran ke dalam rumah yang halamannya luas. Di
tengah-tengah undakan, seorang pria tua duduk sambil memandang kami
dengan heran. Pop berteriak dengan lantang memanggil pria tua itu
layaknya kawan lama “Om, aku datang bawa teman!” – dan pria tua yang
lebih pantas dipanggil Opa daripada Om itu langsung berjalan merangkak dengan susah payah untuk membukakan pagar. Sungguh, sungguh terasa seperti mendapat sambutan dari orang yang berbeda era.
Setelah salim tangan dengan si Om, saya melangkahkan kaki ragu-ragu
masuk ke dalam rumah. “Anggap saja rumah oma-opamu sendiri, Kenya”, kata
Pop menenangkan. Saya hanya tertawa kering sambil kepo
melihat-lihat kesekeliling. Rumah ini adalah rumah yang dibangun oleh
Engkong, kakek si Om. Talang air, sumur, pilar dan tegelnya semua masih
asli, kuat dan belum pernah diganti sama sekali. Jendelanya yang
besar-besar tertutup oleh jeruji yang catnya mengelupas, pintunya berat
seperti dari Jati dan lantainya berdebu. Di sekeliling rumah terdapat
banyak foto-foto kerabat dari masa lalu yang sudah kehilangan konteks
karena si Om sudah lupa nama-nama mereka. How I wish I could preserve memory.
Om Kanarji sekarang sudah 86 tahun. Di usia tuanya ia tinggal bersama
Tante Sri, sepupunya, dan penjaga rumah yang jago masak, Mbak Minuk.
Sehari-hari mereka tinggal dan merawat rumah bersama-sama. Mbak Minuk
selalu masak makanan enak dan memandikan Tante. Om Kanarji dan Tante Sri
senang kalau ada teman yang berkunjung. Walau pendengarannya sudah
berkurang, Om dan Tante masih seru diajak ngobrol ngalor ngidul. Rumah
Oma-Opa ini memang bukan tourist attraction di Lasem. Rumah Oma-Opa adalah rumah yang menawarkan cerita dan kenangan masa lalu, rumah baru tempat saya pulang.
Di sini kita bisa bernostalgia bersama Om, Tante dan Mbak Minuk,
berkisah tentang banyak hal sambil mendengarkan lagu-lagu kenangan dan
menikmati kekunoan rumah. Kisah-kisah kejayaan masa lalu Lasem terekam
kuat di seluruh penjuru rumah, membawa kenangan dan imajinasi bangkit
menari-nari di depan mata. Saya menghabiskan sisa hari di Rumah Oma-Opa
dengan tenang, bebas dari panas terik pantura tetapi masih terasa
seperti di Lasem. Sekarang sekujur badan saya jadi bau kenangan, bikin
nggak pingin guyuran air dingin dan nggak pingin menginap di hotel.
Lasem memang cocok untuk liburan para pecinta kenangan dan
masa lalu. Banyak sekali situs bersejarah yang penuh cerita dan misteri,
menanti untuk diteliti. Dari mulai wisata sejarah, religi, budaya dan
kuliner semua lengkap ada di Lasem. Semoga di tahun-tahun berikutnya
Lasem bisa mewujudkan mimpi menjadi Kota Pusaka Dunia.
Penjelajahan naik mesin waktu menelusuri Lasem mengingatkan kalau
ingatan dan kenangan adalah sesuatu yang bisa hilang kapan saja –harus
dilestarikan! Wangi kenangan hanya bisa dihirupi ketika ia
kadang-kadang mampir. Seperti hari itu ketika mampir ke Rumah Oma-Opa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar