Selasa, 12 November 2013

Naik Mesin Waktu di Lasem, Kota Dengan Berjuta Pusaka

Where on earth is Lasem? Mungkin jadi pertanyaan yang banyak sekali ditanyakan ketika mendengar nama kota kecil ini. Well, Google dan Wikipedia akan senang sekali menjawabnya untukmu. Terletak di Jawa TengahLasem sesungguhnya merupakan salah satu kota dengan banyak peninggalan pusaka penting di tanah air. Yang tak bisa dijelaskan Google adalah bagaimana Lasem menjadi kota yang istimewa, at least istimewa buat saya. Di Lasemlah saya menemukan rumah baru sekaligus merasakan naik mesin waktu yang sesungguhnya!
Perjalanan naik mesin waktu dimulai saat Bus Madu Kismo yang saya tumpangi memasuki Terminal Lama, Lasem. Teriknya matahari khas pantura dan udara laut yang lengket menyambut kaki melangkah keluar dari bus. Enam belas jam waktu perjalanan yang ditempuh dari Jakarta terasa semakin melelahkan dan jauh dengan cuaca seterik itu. Namun, senyum sahabat saya yang sudah menunggu di depan pintu bus mengusir lelah yang saya dirasa. Pop, sahabat saya itu, berdiri di depan pintu bus dengan senyum selebar topinya dan kacamata hitam ala tahun 80an. “Yuk, jalan-jalan (ke zaman) dulu, Hun”, katanya sambil menarik tangan saya naik ke atas motor RX King yang suara knalpotnya bergaung-gaung lantang ke udara.
Tanpa mampir ke hotel, Pop mengajak saya merasakan masakan khas yang sudah turun temurun disajikan hanya di Lasem. Here goes the fantastic taste of Luntung Tuyuhan yang dipadu dengan segarnya es kelapa muda asli Lasem; enak banget! Lontong sayur spesialisasi warga Desa Tuyuhan ini rupanya seperti lontong opor dengan kuah kuning biasa yang disajikan dengan ayam dan tempe. Namun ketika potong demi potong lontong masuk ke mulut, ingatan-ingatan tentang masakan rumah eyang menyergap otak saya. Rasanya sederhana dengan pedas klasik kuah penuh lada, tidak ada tambahan penyedap apalagi potongan labu siam seperti kuah lontong sayur kebanyakan. Konon, rasa enak Lontong Tuyuhan ini hanya bisa dibuat oleh warga Desa Tuyuhan saja, lho! Pop tertawa-tawa senang melihat saya makan lontong dengan lahap dan nambah dua porsi.
liburan
Luntung Tuyuhan, masakan turun menurun di Lasem
Setelah perut kenyang dan dahaga terpuaskan, dengan RX King yang menggema, Pop mengajak saya menelusuri tepi pantai Lasem yang di sepanjang jalannya penuh dengan penjual ikan asin. Panas terik pantura dan aroma ikan asin yang menyengat membuat saya ingin guyuran air dingin saat itu juga! Entah kenapa Pop tak kunjung melajukan motornya ke arah hotel. Ia malah menghentikan motornya di sebuah sudut pantai sepi yang tidak terurus. “Kalau beruntung, kita bisa bertemu kerangka manusia di sini, Hun”, katanya dengan santai. Tentu perkataan Pop tersebut membuat saya bergidik ngeri. Bertemu kerangka manusia bukan sesuatu yang bisa dibawa santai, bukan? tapi Pop sungguh, sungguh santai menelusuri tebing pantai yang terkena abrasi. Tangannya menjelajah tepi tebing mencari serpihan gigi atau tulang belulang yang tertimbun. Saya yang ketakutan hanya berdiri tertegun di sebuah gundukan karang, berpura-pura menikmati suasana pantai sambil memperhatikan Pop yang asyik sendiri dengan pencarian tulangnya. Tak beberapa saat Pop berteriak dari kejauhan “Di karang tempatmu berdiri itu dikubur kerangka manusia berusia 640 tahun sebelum masehi, lho, Hun!” – dan mendadak kaki saya terasa kaku. Saya berdiri di atas kuburan manusia pra-sejarah!!
liburan
Leran sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta
Ternyata Pantai Leran, tepi pantai yang saya kunjungi ini, memang sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta. Di sepanjang tepi pantai banyak ditemui serpihan-serpihan artefak dan tulang belulang manusia pra-sejarah yang diduga penutur bahasa asli Austronesia. Saya jadi semangat menyusuri tepi pantai mencari serpihan prasejarah yang tercerai-berai! Akan keren kalau  berhasil membawa pulang sepotong tulang atau pecahan tembikar dari zaman pra-sejarah, hehe. Pencarian serpihan masa lalu di Pantai Leran berakhir dengan ditemukannya sebuah cangkang kerang yang diduga perhiasan zaman pra-sejarah dan sekeping keramik kuno yang tertimbun di pasir. Si cangkang historis langsung tergantung manis di leher saya.
Perjalanan naik mesin waktu berlanjut dengan blusukan ke daerah pecinan di Lasem, Desa Karangturi. Di sini saya nggak bisa berhenti tolah-toleh menyaksikan rumah-rumah Cina kuno yang berderet di sepanjang jalan. Rasanya seperti  berada di setting film White Snake Legend dengan Pai Su Chen-nya yang legendaris! Atap yang tinggi melengkung dengan tembok yang nyaris menghitam menunjukkan seberapa tua umur rumah –rumah tersebut. Uniknya, di depan setiap pintu terpasang informasi berapa jumlah penghuni rumah. Pintu kayu dengan cat warna terang yang memudar memanggil-manggil minta dibuka. Ingin rasanya blusukan lebih dalam dan menikmati aroma kenangan dari salah satu rumah. Tiba-tiba, Pop menghentikan motornya di depan salah satu rumah yang cukup kuno. Keinginan saya jadi kenyataan.
“Selamat datang di Rumah Oma-Opa”, kata Pop. Dari balik celah pintu, saya mengintip penasaran ke dalam rumah yang halamannya luas. Di tengah-tengah undakan, seorang pria tua duduk sambil memandang kami dengan heran. Pop berteriak dengan lantang memanggil pria tua itu layaknya kawan lama “Om, aku datang bawa teman!” – dan pria tua yang lebih pantas dipanggil Opa daripada Om itu langsung berjalan merangkak dengan susah payah untuk membukakan pagar. Sungguh, sungguh terasa seperti mendapat sambutan dari  orang yang berbeda era.
Setelah salim tangan dengan si Om, saya melangkahkan kaki ragu-ragu masuk ke dalam rumah. “Anggap saja rumah oma-opamu sendiri, Kenya”, kata Pop menenangkan. Saya hanya tertawa kering sambil kepo melihat-lihat kesekeliling. Rumah ini adalah rumah yang dibangun oleh Engkong, kakek si Om. Talang air, sumur, pilar dan tegelnya semua masih asli, kuat dan belum pernah diganti sama sekali. Jendelanya yang besar-besar tertutup oleh jeruji yang catnya mengelupas, pintunya berat seperti dari Jati dan lantainya berdebu. Di sekeliling rumah terdapat banyak foto-foto kerabat dari masa lalu yang sudah kehilangan konteks karena si Om sudah lupa nama-nama mereka. How I wish I could preserve memory.
liburan
Rumah bergaya Tionghoa di Lasem (FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Om Kanarji sekarang sudah 86 tahun. Di usia tuanya ia tinggal bersama Tante Sri, sepupunya, dan penjaga rumah yang jago masak, Mbak Minuk. Sehari-hari mereka tinggal dan merawat rumah bersama-sama. Mbak Minuk selalu masak makanan enak dan memandikan Tante. Om Kanarji dan Tante Sri senang kalau ada teman yang berkunjung. Walau pendengarannya sudah berkurang, Om dan Tante masih seru diajak ngobrol ngalor ngidul. Rumah Oma-Opa ini memang bukan tourist attraction  di Lasem. Rumah Oma-Opa adalah rumah yang menawarkan cerita dan kenangan masa lalu, rumah baru tempat saya pulang. Di sini kita bisa bernostalgia bersama Om, Tante dan Mbak Minuk, berkisah tentang banyak hal sambil mendengarkan lagu-lagu kenangan dan menikmati kekunoan rumah. Kisah-kisah kejayaan masa lalu Lasem terekam kuat di seluruh penjuru rumah, membawa kenangan dan imajinasi bangkit menari-nari di depan mata. Saya menghabiskan sisa hari di Rumah Oma-Opa dengan tenang, bebas dari panas terik pantura tetapi masih terasa seperti di Lasem. Sekarang sekujur badan saya jadi bau kenangan, bikin nggak pingin guyuran air dingin dan nggak pingin menginap di hotel.
Lasem memang cocok untuk liburan para pecinta kenangan dan masa lalu. Banyak sekali situs bersejarah yang penuh cerita dan misteri, menanti untuk diteliti. Dari mulai wisata sejarah, religi, budaya dan kuliner semua lengkap ada di Lasem. Semoga di tahun-tahun berikutnya Lasem bisa mewujudkan mimpi menjadi Kota Pusaka Dunia.
Penjelajahan naik mesin waktu menelusuri Lasem mengingatkan kalau ingatan dan kenangan adalah sesuatu yang bisa hilang kapan saja –harus dilestarikan!  Wangi kenangan hanya bisa dihirupi ketika ia kadang-kadang mampir. Seperti hari itu ketika mampir ke Rumah Oma-Opa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar