Selasa, 12 November 2013

Naik Mesin Waktu di Lasem, Kota Dengan Berjuta Pusaka

Where on earth is Lasem? Mungkin jadi pertanyaan yang banyak sekali ditanyakan ketika mendengar nama kota kecil ini. Well, Google dan Wikipedia akan senang sekali menjawabnya untukmu. Terletak di Jawa TengahLasem sesungguhnya merupakan salah satu kota dengan banyak peninggalan pusaka penting di tanah air. Yang tak bisa dijelaskan Google adalah bagaimana Lasem menjadi kota yang istimewa, at least istimewa buat saya. Di Lasemlah saya menemukan rumah baru sekaligus merasakan naik mesin waktu yang sesungguhnya!
Perjalanan naik mesin waktu dimulai saat Bus Madu Kismo yang saya tumpangi memasuki Terminal Lama, Lasem. Teriknya matahari khas pantura dan udara laut yang lengket menyambut kaki melangkah keluar dari bus. Enam belas jam waktu perjalanan yang ditempuh dari Jakarta terasa semakin melelahkan dan jauh dengan cuaca seterik itu. Namun, senyum sahabat saya yang sudah menunggu di depan pintu bus mengusir lelah yang saya dirasa. Pop, sahabat saya itu, berdiri di depan pintu bus dengan senyum selebar topinya dan kacamata hitam ala tahun 80an. “Yuk, jalan-jalan (ke zaman) dulu, Hun”, katanya sambil menarik tangan saya naik ke atas motor RX King yang suara knalpotnya bergaung-gaung lantang ke udara.
Tanpa mampir ke hotel, Pop mengajak saya merasakan masakan khas yang sudah turun temurun disajikan hanya di Lasem. Here goes the fantastic taste of Luntung Tuyuhan yang dipadu dengan segarnya es kelapa muda asli Lasem; enak banget! Lontong sayur spesialisasi warga Desa Tuyuhan ini rupanya seperti lontong opor dengan kuah kuning biasa yang disajikan dengan ayam dan tempe. Namun ketika potong demi potong lontong masuk ke mulut, ingatan-ingatan tentang masakan rumah eyang menyergap otak saya. Rasanya sederhana dengan pedas klasik kuah penuh lada, tidak ada tambahan penyedap apalagi potongan labu siam seperti kuah lontong sayur kebanyakan. Konon, rasa enak Lontong Tuyuhan ini hanya bisa dibuat oleh warga Desa Tuyuhan saja, lho! Pop tertawa-tawa senang melihat saya makan lontong dengan lahap dan nambah dua porsi.
liburan
Luntung Tuyuhan, masakan turun menurun di Lasem
Setelah perut kenyang dan dahaga terpuaskan, dengan RX King yang menggema, Pop mengajak saya menelusuri tepi pantai Lasem yang di sepanjang jalannya penuh dengan penjual ikan asin. Panas terik pantura dan aroma ikan asin yang menyengat membuat saya ingin guyuran air dingin saat itu juga! Entah kenapa Pop tak kunjung melajukan motornya ke arah hotel. Ia malah menghentikan motornya di sebuah sudut pantai sepi yang tidak terurus. “Kalau beruntung, kita bisa bertemu kerangka manusia di sini, Hun”, katanya dengan santai. Tentu perkataan Pop tersebut membuat saya bergidik ngeri. Bertemu kerangka manusia bukan sesuatu yang bisa dibawa santai, bukan? tapi Pop sungguh, sungguh santai menelusuri tebing pantai yang terkena abrasi. Tangannya menjelajah tepi tebing mencari serpihan gigi atau tulang belulang yang tertimbun. Saya yang ketakutan hanya berdiri tertegun di sebuah gundukan karang, berpura-pura menikmati suasana pantai sambil memperhatikan Pop yang asyik sendiri dengan pencarian tulangnya. Tak beberapa saat Pop berteriak dari kejauhan “Di karang tempatmu berdiri itu dikubur kerangka manusia berusia 640 tahun sebelum masehi, lho, Hun!” – dan mendadak kaki saya terasa kaku. Saya berdiri di atas kuburan manusia pra-sejarah!!
liburan
Leran sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta
Ternyata Pantai Leran, tepi pantai yang saya kunjungi ini, memang sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta. Di sepanjang tepi pantai banyak ditemui serpihan-serpihan artefak dan tulang belulang manusia pra-sejarah yang diduga penutur bahasa asli Austronesia. Saya jadi semangat menyusuri tepi pantai mencari serpihan prasejarah yang tercerai-berai! Akan keren kalau  berhasil membawa pulang sepotong tulang atau pecahan tembikar dari zaman pra-sejarah, hehe. Pencarian serpihan masa lalu di Pantai Leran berakhir dengan ditemukannya sebuah cangkang kerang yang diduga perhiasan zaman pra-sejarah dan sekeping keramik kuno yang tertimbun di pasir. Si cangkang historis langsung tergantung manis di leher saya.
Perjalanan naik mesin waktu berlanjut dengan blusukan ke daerah pecinan di Lasem, Desa Karangturi. Di sini saya nggak bisa berhenti tolah-toleh menyaksikan rumah-rumah Cina kuno yang berderet di sepanjang jalan. Rasanya seperti  berada di setting film White Snake Legend dengan Pai Su Chen-nya yang legendaris! Atap yang tinggi melengkung dengan tembok yang nyaris menghitam menunjukkan seberapa tua umur rumah –rumah tersebut. Uniknya, di depan setiap pintu terpasang informasi berapa jumlah penghuni rumah. Pintu kayu dengan cat warna terang yang memudar memanggil-manggil minta dibuka. Ingin rasanya blusukan lebih dalam dan menikmati aroma kenangan dari salah satu rumah. Tiba-tiba, Pop menghentikan motornya di depan salah satu rumah yang cukup kuno. Keinginan saya jadi kenyataan.
“Selamat datang di Rumah Oma-Opa”, kata Pop. Dari balik celah pintu, saya mengintip penasaran ke dalam rumah yang halamannya luas. Di tengah-tengah undakan, seorang pria tua duduk sambil memandang kami dengan heran. Pop berteriak dengan lantang memanggil pria tua itu layaknya kawan lama “Om, aku datang bawa teman!” – dan pria tua yang lebih pantas dipanggil Opa daripada Om itu langsung berjalan merangkak dengan susah payah untuk membukakan pagar. Sungguh, sungguh terasa seperti mendapat sambutan dari  orang yang berbeda era.
Setelah salim tangan dengan si Om, saya melangkahkan kaki ragu-ragu masuk ke dalam rumah. “Anggap saja rumah oma-opamu sendiri, Kenya”, kata Pop menenangkan. Saya hanya tertawa kering sambil kepo melihat-lihat kesekeliling. Rumah ini adalah rumah yang dibangun oleh Engkong, kakek si Om. Talang air, sumur, pilar dan tegelnya semua masih asli, kuat dan belum pernah diganti sama sekali. Jendelanya yang besar-besar tertutup oleh jeruji yang catnya mengelupas, pintunya berat seperti dari Jati dan lantainya berdebu. Di sekeliling rumah terdapat banyak foto-foto kerabat dari masa lalu yang sudah kehilangan konteks karena si Om sudah lupa nama-nama mereka. How I wish I could preserve memory.
liburan
Rumah bergaya Tionghoa di Lasem (FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Om Kanarji sekarang sudah 86 tahun. Di usia tuanya ia tinggal bersama Tante Sri, sepupunya, dan penjaga rumah yang jago masak, Mbak Minuk. Sehari-hari mereka tinggal dan merawat rumah bersama-sama. Mbak Minuk selalu masak makanan enak dan memandikan Tante. Om Kanarji dan Tante Sri senang kalau ada teman yang berkunjung. Walau pendengarannya sudah berkurang, Om dan Tante masih seru diajak ngobrol ngalor ngidul. Rumah Oma-Opa ini memang bukan tourist attraction  di Lasem. Rumah Oma-Opa adalah rumah yang menawarkan cerita dan kenangan masa lalu, rumah baru tempat saya pulang. Di sini kita bisa bernostalgia bersama Om, Tante dan Mbak Minuk, berkisah tentang banyak hal sambil mendengarkan lagu-lagu kenangan dan menikmati kekunoan rumah. Kisah-kisah kejayaan masa lalu Lasem terekam kuat di seluruh penjuru rumah, membawa kenangan dan imajinasi bangkit menari-nari di depan mata. Saya menghabiskan sisa hari di Rumah Oma-Opa dengan tenang, bebas dari panas terik pantura tetapi masih terasa seperti di Lasem. Sekarang sekujur badan saya jadi bau kenangan, bikin nggak pingin guyuran air dingin dan nggak pingin menginap di hotel.
Lasem memang cocok untuk liburan para pecinta kenangan dan masa lalu. Banyak sekali situs bersejarah yang penuh cerita dan misteri, menanti untuk diteliti. Dari mulai wisata sejarah, religi, budaya dan kuliner semua lengkap ada di Lasem. Semoga di tahun-tahun berikutnya Lasem bisa mewujudkan mimpi menjadi Kota Pusaka Dunia.
Penjelajahan naik mesin waktu menelusuri Lasem mengingatkan kalau ingatan dan kenangan adalah sesuatu yang bisa hilang kapan saja –harus dilestarikan!  Wangi kenangan hanya bisa dihirupi ketika ia kadang-kadang mampir. Seperti hari itu ketika mampir ke Rumah Oma-Opa.

Naik Mesin Waktu di Lasem, Kota Dengan Berjuta Pusaka

Where on earth is Lasem? Mungkin jadi pertanyaan yang banyak sekali ditanyakan ketika mendengar nama kota kecil ini. Well, Google dan Wikipedia akan senang sekali menjawabnya untukmu. Terletak di Jawa TengahLasem sesungguhnya merupakan salah satu kota dengan banyak peninggalan pusaka penting di tanah air. Yang tak bisa dijelaskan Google adalah bagaimana Lasem menjadi kota yang istimewa, at least istimewa buat saya. Di Lasemlah saya menemukan rumah baru sekaligus merasakan naik mesin waktu yang sesungguhnya!
Perjalanan naik mesin waktu dimulai saat Bus Madu Kismo yang saya tumpangi memasuki Terminal Lama, Lasem. Teriknya matahari khas pantura dan udara laut yang lengket menyambut kaki melangkah keluar dari bus. Enam belas jam waktu perjalanan yang ditempuh dari Jakarta terasa semakin melelahkan dan jauh dengan cuaca seterik itu. Namun, senyum sahabat saya yang sudah menunggu di depan pintu bus mengusir lelah yang saya dirasa. Pop, sahabat saya itu, berdiri di depan pintu bus dengan senyum selebar topinya dan kacamata hitam ala tahun 80an. “Yuk, jalan-jalan (ke zaman) dulu, Hun”, katanya sambil menarik tangan saya naik ke atas motor RX King yang suara knalpotnya bergaung-gaung lantang ke udara.
Tanpa mampir ke hotel, Pop mengajak saya merasakan masakan khas yang sudah turun temurun disajikan hanya di Lasem. Here goes the fantastic taste of Luntung Tuyuhan yang dipadu dengan segarnya es kelapa muda asli Lasem; enak banget! Lontong sayur spesialisasi warga Desa Tuyuhan ini rupanya seperti lontong opor dengan kuah kuning biasa yang disajikan dengan ayam dan tempe. Namun ketika potong demi potong lontong masuk ke mulut, ingatan-ingatan tentang masakan rumah eyang menyergap otak saya. Rasanya sederhana dengan pedas klasik kuah penuh lada, tidak ada tambahan penyedap apalagi potongan labu siam seperti kuah lontong sayur kebanyakan. Konon, rasa enak Lontong Tuyuhan ini hanya bisa dibuat oleh warga Desa Tuyuhan saja, lho! Pop tertawa-tawa senang melihat saya makan lontong dengan lahap dan nambah dua porsi.
liburan
Luntung Tuyuhan, masakan turun menurun di Lasem
Setelah perut kenyang dan dahaga terpuaskan, dengan RX King yang menggema, Pop mengajak saya menelusuri tepi pantai Lasem yang di sepanjang jalannya penuh dengan penjual ikan asin. Panas terik pantura dan aroma ikan asin yang menyengat membuat saya ingin guyuran air dingin saat itu juga! Entah kenapa Pop tak kunjung melajukan motornya ke arah hotel. Ia malah menghentikan motornya di sebuah sudut pantai sepi yang tidak terurus. “Kalau beruntung, kita bisa bertemu kerangka manusia di sini, Hun”, katanya dengan santai. Tentu perkataan Pop tersebut membuat saya bergidik ngeri. Bertemu kerangka manusia bukan sesuatu yang bisa dibawa santai, bukan? tapi Pop sungguh, sungguh santai menelusuri tebing pantai yang terkena abrasi. Tangannya menjelajah tepi tebing mencari serpihan gigi atau tulang belulang yang tertimbun. Saya yang ketakutan hanya berdiri tertegun di sebuah gundukan karang, berpura-pura menikmati suasana pantai sambil memperhatikan Pop yang asyik sendiri dengan pencarian tulangnya. Tak beberapa saat Pop berteriak dari kejauhan “Di karang tempatmu berdiri itu dikubur kerangka manusia berusia 640 tahun sebelum masehi, lho, Hun!” – dan mendadak kaki saya terasa kaku. Saya berdiri di atas kuburan manusia pra-sejarah!!
liburan
Leran sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta
Ternyata Pantai Leran, tepi pantai yang saya kunjungi ini, memang sebuah situs pra-sejarah yang sedang dikonservasi Balai Arkeologi Yogyakarta. Di sepanjang tepi pantai banyak ditemui serpihan-serpihan artefak dan tulang belulang manusia pra-sejarah yang diduga penutur bahasa asli Austronesia. Saya jadi semangat menyusuri tepi pantai mencari serpihan prasejarah yang tercerai-berai! Akan keren kalau  berhasil membawa pulang sepotong tulang atau pecahan tembikar dari zaman pra-sejarah, hehe. Pencarian serpihan masa lalu di Pantai Leran berakhir dengan ditemukannya sebuah cangkang kerang yang diduga perhiasan zaman pra-sejarah dan sekeping keramik kuno yang tertimbun di pasir. Si cangkang historis langsung tergantung manis di leher saya.
Perjalanan naik mesin waktu berlanjut dengan blusukan ke daerah pecinan di Lasem, Desa Karangturi. Di sini saya nggak bisa berhenti tolah-toleh menyaksikan rumah-rumah Cina kuno yang berderet di sepanjang jalan. Rasanya seperti  berada di setting film White Snake Legend dengan Pai Su Chen-nya yang legendaris! Atap yang tinggi melengkung dengan tembok yang nyaris menghitam menunjukkan seberapa tua umur rumah –rumah tersebut. Uniknya, di depan setiap pintu terpasang informasi berapa jumlah penghuni rumah. Pintu kayu dengan cat warna terang yang memudar memanggil-manggil minta dibuka. Ingin rasanya blusukan lebih dalam dan menikmati aroma kenangan dari salah satu rumah. Tiba-tiba, Pop menghentikan motornya di depan salah satu rumah yang cukup kuno. Keinginan saya jadi kenyataan.
“Selamat datang di Rumah Oma-Opa”, kata Pop. Dari balik celah pintu, saya mengintip penasaran ke dalam rumah yang halamannya luas. Di tengah-tengah undakan, seorang pria tua duduk sambil memandang kami dengan heran. Pop berteriak dengan lantang memanggil pria tua itu layaknya kawan lama “Om, aku datang bawa teman!” – dan pria tua yang lebih pantas dipanggil Opa daripada Om itu langsung berjalan merangkak dengan susah payah untuk membukakan pagar. Sungguh, sungguh terasa seperti mendapat sambutan dari  orang yang berbeda era.
Setelah salim tangan dengan si Om, saya melangkahkan kaki ragu-ragu masuk ke dalam rumah. “Anggap saja rumah oma-opamu sendiri, Kenya”, kata Pop menenangkan. Saya hanya tertawa kering sambil kepo melihat-lihat kesekeliling. Rumah ini adalah rumah yang dibangun oleh Engkong, kakek si Om. Talang air, sumur, pilar dan tegelnya semua masih asli, kuat dan belum pernah diganti sama sekali. Jendelanya yang besar-besar tertutup oleh jeruji yang catnya mengelupas, pintunya berat seperti dari Jati dan lantainya berdebu. Di sekeliling rumah terdapat banyak foto-foto kerabat dari masa lalu yang sudah kehilangan konteks karena si Om sudah lupa nama-nama mereka. How I wish I could preserve memory.
liburan
Rumah bergaya Tionghoa di Lasem (FOTO: KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Om Kanarji sekarang sudah 86 tahun. Di usia tuanya ia tinggal bersama Tante Sri, sepupunya, dan penjaga rumah yang jago masak, Mbak Minuk. Sehari-hari mereka tinggal dan merawat rumah bersama-sama. Mbak Minuk selalu masak makanan enak dan memandikan Tante. Om Kanarji dan Tante Sri senang kalau ada teman yang berkunjung. Walau pendengarannya sudah berkurang, Om dan Tante masih seru diajak ngobrol ngalor ngidul. Rumah Oma-Opa ini memang bukan tourist attraction  di Lasem. Rumah Oma-Opa adalah rumah yang menawarkan cerita dan kenangan masa lalu, rumah baru tempat saya pulang. Di sini kita bisa bernostalgia bersama Om, Tante dan Mbak Minuk, berkisah tentang banyak hal sambil mendengarkan lagu-lagu kenangan dan menikmati kekunoan rumah. Kisah-kisah kejayaan masa lalu Lasem terekam kuat di seluruh penjuru rumah, membawa kenangan dan imajinasi bangkit menari-nari di depan mata. Saya menghabiskan sisa hari di Rumah Oma-Opa dengan tenang, bebas dari panas terik pantura tetapi masih terasa seperti di Lasem. Sekarang sekujur badan saya jadi bau kenangan, bikin nggak pingin guyuran air dingin dan nggak pingin menginap di hotel.
Lasem memang cocok untuk liburan para pecinta kenangan dan masa lalu. Banyak sekali situs bersejarah yang penuh cerita dan misteri, menanti untuk diteliti. Dari mulai wisata sejarah, religi, budaya dan kuliner semua lengkap ada di Lasem. Semoga di tahun-tahun berikutnya Lasem bisa mewujudkan mimpi menjadi Kota Pusaka Dunia.
Penjelajahan naik mesin waktu menelusuri Lasem mengingatkan kalau ingatan dan kenangan adalah sesuatu yang bisa hilang kapan saja –harus dilestarikan!  Wangi kenangan hanya bisa dihirupi ketika ia kadang-kadang mampir. Seperti hari itu ketika mampir ke Rumah Oma-Opa.

WISATA SEJARAH KARTINI, KULINER DAN BUAH TANGAN LASEM

Salah satu kota impian yang sangat ingin kukunjungi sejak masih di bangku SD adalah Rembang. Pesona Kartini-lah yang mendorongku begitu ingin menginjakkan kaki di kota pantai ini. Di sinilah, pejuang perempuan Indonesia tersebut dimakamkan. Rembang sendiri terletak di pinggir pantai utara Jawa, masuk dalam wilayah Jawa Tengah. Pusat kota dilalui lalu lintas padat, terutama truk dan bis besar, baik siang dan malam hari. Tidaklah heran karena Rembang merupakan titik penting jalur pantura, singkatan dari pantai utara.
Meski menjadi salah satu titik pantura, perkembangan Rembang tidaklah semaju dua kabupaten tetangganya, Kudus dan Pati. Dua kabupaten ini terkenal karena berbagai pabrik seperti rokok rokok dan kacang, menjadikan perputaran ekonomi di 2 kota ini berjalan sangat baik. Berbeda dengan Rembang, baru masuk kota sudah terasa suasana sepi. Lebih sepi jika saja seliweran lalu lintas tidak menjarahinya.
Kabupaten ini masuk dalam daftar daerah tertinggal. Tingkat kemiskinan tergolong tinggi. Hampir 38 % dari sekitar 650 ribu penduduk Rembang, menurut data BPS, dikategorikan miskin. Kemiskinan meningkat drastis menjadi sekitar 60% pada saat program Bantuan Langsung Tunai (BLT) diluncurkan pemerintah pusat.
Swary Utami Dewi)
Patung Kartini di Depan Kompleks Pemakaman Keluarga (Foto: Swary Utami Dewi)
Lantas, apa saja daya pikat Rembang yang kutemui dalam kunjungan dua hariku pada awal Juni 2007? Jawaban pertama sudah barang tentu makam Kartini. Kurang setengah jam perjalanan dari pusat kota Rembang, tempat peristirahatan pahlawan nasional ini sudah bisa ditemui. Makam perempuan kelahiran Jepara tersebut terletak di kompleks pemakaman keluarga besar Djojo Adiningrat. Djojo Adiningrat merupakan Bupati Rembang ke-6. Dialah yang menikah dengan Kartini dan menjadikannya sebagai istri kedua.
Kartini sendiri lahir pada 21 April 1879, saat sang ayah menjabat Wedono Mayong. Saat berusia dua tahun, RM Sosroningrat diangkat menjadi Bupati Jepara. Sedari kecil, Kartini sudah terlihat berkemauan keras dan cerdas. Karena kelincahan dan kegesitannya, sang ayah menggelarinya Trinil, sesuai dengan nama burung kecil yang terkenal lincah. Kartini mencurahkan pikiran-pikirannya yang tergolong maju pada zaman itu melalui surat-surat kepada dua sahabat Belanda-nya, Stella dan Ny. Abendanon. Kumpulan surat Kartini kemudian dibukukan oleh Mr J.H. Abendanon pada 1911, 7 tahun sesudah dia wafat, dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Perempuan tangguh ini mangkat 4 hari sesudah melahirkan anaknya, R.M. Soesalit. Statusnya sebagai istri dari Bupati Rembang, menjadikan kota ini dipilih sebagai tempat peristirahatan akhir Kartini.
Swary Utami Dewi)
Makam Kartini di Rembang (Foto: Swary Utami Dewi)
Di komplek pemakaman keluarga besar Djojo Adiningrat juga ditemui makam sang Bupati, istri pertama dan para turunannya. Semua tertata rapi di suatu tempat berpagar dan beratap, mirip rumah megah dan besar. Di dekatnya, ada sebuah bangunan baru dalam tahap pembangunan. Menurut keterangan penjaga makam, jika bangunan utama sudah penuh, maka turunan lainnya yang meninggal, bisa dikebumikan di bangunan baru tersebut.
Di luar pagar bangunan, ditemui patung besar Kartini, menggunakan kebaya sambil memegang sebuah buku. Dari samping, patung ini menampakkan kecantikan perempuan Jawa. “Cantik ya,” kataku sambil mengagumi tampilan anggun Kartini.
Swary Utami Dewi)
Salah Satu Penjual Lontong Tuyuhan (Foto: Swary Utami Dewi)
Magnet kedua kutemui dari wisata kuliner. Teman lamaku di kampus dulu, yang sekarang menjadi pejabat penting di Rembang mengajakku mencicipi lontong Tuyuhan. Sekitar 15 menit berkendaraan dari pusat kota , sampailah kami di Desa Tuyuhan. Nampak deretan warung-warung menyambut kedatangan para pencinta lontong. Tidak sabar aku mencicipi makanan ini dan rasanya, wow, betul-betul menggoyang lidah. Lontong yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segitiga ini beraroma wangi. Lauknya bervariasi, bisa ayam kampung atau telur yang dimasak serupa gulai pedas dan opor. Saat menyentuh lindah, kelembutan dan rasa nikmat penganan inilah yang terasa. Selain lontong Tuyuhan, beberapa jenis masakan lain juga sempat dicicipi. Sebut saja nasi uduk khas Rembang dan nasi gandul. Semuanya memang membuat lidah berdecap nikmat.
Hal lain yang biasa kucari saat mengunjungi suatu tempat adalah kerajinan tangan yang bisa kubawa pulang. Temanku menyebut batik. Kontan aku tertarik ketika diajak berburu batik Lasem. Sekitar 15 menit dari Rembang, menjelang sore, sampailah kami ke Lasem, salah satu kecamatan yang ada di kabupaten ini. Tempat tersebut terkenal karena tradisi membatik penduduknya. Beberapa home industry bisa ditemui. Aku mengunjungi suatu industri rumah tangga P, yang cukup terkenal di sana . Di tempat tersebut, ada semacam toko kecil yang memajang mayoritas batik tulis khas Lasem. Kata temanku, kalau siang hari datang, aku bisa menjumpai para pembatik yang bekerja di bagian belakang toko.
Aku yang menggemari warna merah maron dan sejenisnya, dengan cepat mencomot dua batik bermotif merah bercampur coklat. Per potong batik yang memiliki panjang sekitar 3 meter berharga ratusan ribu. Harga yang lumayan ini memang layak untuk batik tulis, yang dibuat dengan penuh ketekunan oleh para pembatik yang rata-rata sudah berusia lanjut. “Jika mau batik murah dan masal, memang bukan di sini tempatnya, Mbak,” jelas seorang bapak yang duduk denganku di pendopo rumah jabatan temanku. “Warna yang relatif cerah, merah dan biru, dipadukan dengan motif unik dengan garis tegas yang semua dilukis tangan, menjadikan batik Lasem istimewa. Kadang-kadang satu batik bisa diselesaikan berminggu-minggu,” jelas bapak tersebut, yang memperkenalkan diri sebagai pendamping para pembatik Lasem. “Karena itulah harganya lumayan mahal. Tapi puaskan Mbak, membelinya?” tanya si bapak yang kujawab dengan anggukan setuju.
Namun, ternyata, keunikan dan mahalnya batik Lasem per lembar, belum bisa menjadikan nasib para pekerja pembatik bernasib lebih baik. Per hari, mereka umumnya dibayar Rp 4 – 6 ribu. Jika batik yang dikerjakan tergolong rumit dan sulit dan sang pembatik sudah tergolong ahli, dalam seminggu mereka bisa mendapatkan Rp 150 ribu.
Selain itu, sekarang, seni kerajinan tangan tersebut lebih banyak digeluti oleh mereka yang berusia lanjut. Golongan muda nampaknya mulai menoleh pergi dari tradisi unik leluhur mereka ini. Rembang yang panas di siang hari, mulai terasa senyap sesudah magrib, kecuali hiruk pikuk jalan utama yang dilalui banyak truk dan bis.
Namun apakah semua ini tetap menjadikan kabupaten Rembang diam dan tetap dalam posisi wilayah tertinggal? Beberapa kekuatan yang disebut di atas, jika tergarap dengan baik, bisa sedikit membantu dalam memulihkan citra Rembang. Usaha home industry seperti batik, ditambah berbagai jenis penganan lain, jika dikelola dengan tepat, bisa jadi cukup berperan dalam memutar roda perekonomian kabupaten. Dalam hal ini, pemerintah daerah harus bisa melihat dengan jeli peluang yang bisa berfungsi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan tidak untuk keuntungan pihak-pihak tertentu saja. Semoga Rembang bisa segera bangun dari tidur seperti slogan yang kulihat di salah satu sudut kota : Rembang bangkit!

Wisata Ziarah di Kauman Lasem

Wisata Ziarah di Kauman Lasem


Lasem adalah sebuah kecamatan kecil di pesisir utara pulau jawa yang masuk ke wilayah Kabupaten Rembang Jawa Tengah. Daerah ini menjadi saksi sejarah peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu. Menyusuri gang-gang kampung di sekitar Lasem seolah berjalan menembus lorong waktu. Masih terlihat sisa-sisa bekas kejayaan masa lalu. Dalam sejarahnya (yang hampir terlupakan) daerah Lasem ini terkait erat dengan imperium besar kala itu, kerajaan Majapahit, Pajang, Mataram dan Demak. Mulai dari masa pra sejarah, Hindu-Budha, masa penyebaran agama Islam hingga jaman penjajahan Belanda dan Jepang.
MAKAM DI MASJID JAMI LASEM
makam di kompleks masjid agung lasem rembang
Tidak lengkap rasanya ketika berkunjung ke Lasem, kita tidak berziarah ke makam Waliullah yang ada di sekitar masjid kauman, sekaligus belajar sejarah. Kawasan Kauman inilah yang menjadi center point dari kecamatan kecil di pantura ini. Lokasi Masjid Jami’ Lasem yang berada tepat di samping jalan pos – trans jawa, arah Semarang-Surabaya yang dibangun oleh Gubernur Jendral Herman William Daendels. Terdapat banyak perubahan setelah Masjid direnovasi. Empat pilar utama berdiri kokoh menyangga atap masjid. Kaligrafi ayat-ayat Qur’an terukir indah di pintu, jendela dan kusen masjid. Sebuah mimbar bergaya timur tengah yang biasa digunakan untuk khotbah Jumat juga penuh dengan ukiran yang memberi kesan njawani. Lantai marmer yang dingin menjadi alas para jama’ah ketika bersujud kepadaNYA.
INTERIOR MASJID JAMI LASEM
Masjid Jami’ Lasem Rembang
Makam-makam kuno para penyebar agama Islam ada di sekitar Masjid Jami’ Lasem. Situs inilah yang menjadi saksi bisu penyebaran Islam di Lasem dari masa ke masa. Berikut beberapa diantaranya:
  • Makam Adipati Tejo Kusumo 1
Terletak di belakang masjid jami’, dekat dengan kompleks pertokoan dan area parkir bus pariwisata. Beliaulah yang pertama kali membangun masijid Jami’ Lasem di sebelah barat alun-alun pada tahun 1588 M. Sang ibu memberikan nama paraban/panggilan: “Bagus Serimpet” dan hingga kini beliau juga dikenal dengan nama Pangeran Srimpet. Karena sering bertapa/menyepi di Punthuk (bukit) Punggur, Adipati Tedjo Kusumo 1 juga mendapat julukan sebagai Ki Ageng Punggur. Putra dari Santi Wiro ini menikah dengan putri Sultan Pajang dan kemudian diangkat menjadi Adipati Lasem pertama pada tahun 1585 M, dibawah kekuasaan Kerajaan Pajang yang berkedudukan di Kartasura. Wafat pada usia 77 tahun pada tahun 1632 M.
MAKAM ADIPATI TEJO KUSUMO 1
makam Adipati Tejokusumo 1 / Mbah Srimpet
  • Makam Mbah Sambu
Akulturasi arsitektural sangat terlihat pada makam Mbah Sambu yang terletak di sebelah utara Masjid. Bangunan makam berupa cungkup berbentuk joglo dari kayu jati. Di dalamnya terdapat cungkup (lagi) yang bentuk kubahnya unik layaknya gazebo pada taman peristirahatan ala kekaisaran China. Mbah Sambu memiliki nama asli Sayid Abdurrahman Basyaiban atau yang juga dikenal dengan nama Syekh Maulana Sam Bua Samarkandi. Menurut catatan sejarah, pada tahun 1625 M, Adipati Tejo Kusumo 1 mengundang beliau dari Tuban untuk menyebarkan agama Islam di Pantura Jawa khususnya daerah Lasem. Akhirnya Syekh Sam Bua diambil menantu, dikawinkan dengan putrinya dari garwa/istri selir. Beliau wafat tahun 1653 M dalam usia 61 tahun.
  • Makam Mbah Kyai Ma’shoem Ahmad
Beliau adalah salah satu dari dua ulama besar di Lasem selain Kyai Baidhowi Abdul Aziz. Memiliki nama asli Muhammadun, lahir pada tahun 1870. Sejak kecil Mbah Ma’shoem telah dikirim berguru ke pesantren² di penjuru pulau jawa untuk mendalami ilmu agama, termasuk belajar ke ulama yang masyhur Mbah Kholil Bangkalan Madura. Beliau mengasuh pesantren di Lasem dan mengajarkan kitab² salaf seperti Fathul Wahhab, Jurumiyah, Alfiyah, Ihya Ulumuddin, Al-Hikam ibn Athaillah, dll. Semasa hidupnya, Mbah Ma’shum terkenal dikaruniai karomah². Beliau wafat pada 28 April 1972 (14 Robiul Awal 1392 H) jam 2 siang, setelah shalat Jum’at. Upacara pemakamannya dihadiri oleh ribuan orang baik dari tokoh ulama, petinggi partai politik dan pejabat pemerintahan maupun masyarakat awam.
MAKAM KH MA'SHOEM AHMAD LASEM
makam Mbah KH Ma’shoem Ahmad & keluarga
Artikel ini juga dimuat dalam Ebook tentang Lasem yang berjudul: Lasem Kota Sejarah Yang Terpinggirkan Zaman yang dapat di download secara gratis di link iniEbook ini merupakan hasil karya teman² seperjalanan yang tergabung dalam #KeluargaLasem.
Note:
Postingan ini merupakan rangkuman dari berbagai sumber, baik dari hasil wawancara dengan warga lokal, pemerhati sejarah, buku & artikel² pendukung lain. Mohon maaf apabila ada data yang belum tepat. Dengan senang hati saya menerima kritik & masukan.

Peziarah Bisa Naik Kereta Gantung

Lasem – Investor asal Jakarta menyanggupi penataan kawasan Bonang dan Binangun Kec. Lasem, untuk disulap menjadi obyek wisata unggulan.
Kepala Desa Bonang Kec. Lasem, Syaeful Sodiqin mengaku kali pertama mendengar rencana tersebut dari Wakil Bupati Rembang, Abdul Hafidz. Pihaknya berharap segera terealisasi, supaya bisa meningkatkan ekonomi masyarakat. Apalagi Bonang mempunyai kekuatan wisata religi berupa makam serta peninggalan Sunan Bonang, sehingga sangat tepat kalau digabung dengan keindahan Pantai Binangun, yang dulu pada masa kerajaan Majapahit, pernah terkenal menjadi pelabuhan besar.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda Dan Olahraga Kab. Rembang, Sunarto membenarkan pimpinan investor dari Jakarta, Handoko sudah datang mengecek. Bahkan bertemu langsung dengan Bupati, Moch. Salim untuk menjajaki kerja sama dibidang pariwisata.
Saat ini investor masih berkonsentrasi menangani penataan obyek wisata Curug Sewu di Kendal. Kalau sudah selesai, mereka berjanji akan datang ke Lasem, memulai proyek Bonang – Binangun. Perkiraan tahun 2014 mendatang. Salah satu yang akan diwujudkan yakni pembuatan kereta gantung atau semacam gondola antara Pasujudan Sunan Bonang menuju Pantai Binangun di sebelah utaranya. Pengunjung bisa menikmati keindahan alam pegunungan dan pantai dari atas ketinggian. Kelak peziarahpun tidak perlu capek naik jalan berundak undak, untuk sampai ke kawasan Pasujudan Sunan Bonang.
Bupati juga menjanjikan pembangunan Masjid Apung di atas pantai, untuk mendukung pengembangan pariwisata di lokasi tersebut.
Sunarto menambahkan apabila investor sudah turun menggarap potensi wisata Bonang – Binangun, tentu warung warung yang ada di pinggir pantai harus dibongkar.
Bukan untuk menggusur, melainkan ditata menjadi lebih baik, agar mereka tetap bisa berjualan.

PASANG SURUT USAHA BATIK TULIS LASEM

Industri batik Lasem telah mengalami masa pasang surut. Puncak kejayaan batik Lasem terjadi pada sekitar akhir abad ke-19 sampai dengan tahun 1970-an. Industri batik yang cukup besar di Hindia Belanda saat itu adalah batik Surakarta, batik Yogyakarta, batik Pekalongan, batik Lasem, batik Cirebon, dan batik  Banyumas.
Pemasaran batik Lasem tidak hanya di wilayah Indonesia saja, tetapi juga meluas sampai ke wilayah Asia Timur terutama Jepang bahkan sampai ke Suriname. Sampai tahun 1970-an, industri batik Lasem menjadi salah satu penopang utama ekonomi masyarakat Lasem dan masyarakat di desa-desa sekitarnya. Sekitar 90 % penduduk Lasem khususnya kaum perempuan bekerja sebagai pengrajin, pengusaha, dan pekerjaan lain yang terkait dengan batik. Namun saat ini hanya tinggal 10% penduduk yang masih bekerja sebagai pembatik. Kemerosotan ini disebabkan oleh jumlah modal yang kecil, sehingga banyak pengusaha batik bangkrut dan menutup usahanya. Krisis moneter yang terjadi sekitar tahun 1997  berdampak pada industri batik Lasem yang semakin lesu.  Keadaan ini mengancam kelestarian usaha batik Lasem.
Para pembatik di Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang pada umumnya adalah para wanita yang berasal dari keluarga petani gurem atau buruh tani di 25 desa dari 4 kecamatan di Kabupaten Rembang. Pekerjaan membatik dilakukan pada waktu luang di antara masa tanam dan masa panen dengan tujuan untuk menambah penghasilan keluarga. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa industri batik Lasem memiliki peran yang sangat penting untuk perluasan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan di wilayah Kabupaten Rembang.
Kondisi industri batik Lasem yang semakin lesu sejak tahun 1997 sampai sekitar tahun 2003, terancam punah karena sebagian besar generasi muda tidak berminat menekuni pekerjaan sebagai pembatik atau usaha batik Lasem. Generasi muda di Kabupaten Rembang lebih banyak yang memilih bekerja di sektor  lain di luar industri batik, baik di dalam maupun di luar kota Rembang. Hal ini menimbulkan dua  masalah serius yaitu penghasilan penduduk miskin semakin merosot dan ancaman kepunahan batik Lasem.

SEJARAH LASEM

Menapaki Jejak Majapahit di Kajar, Lasem


Suwito (17), warga Desa Kajar, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, tidak pernah tahu secara detail kisah sejarah peninggalan Kerajaan Majapahit di Gunung Kajar, Pegunungan Lasem. Paling-paling siswa sebuah sekolah negeri di Lasem itu sebatas tahu nama dan letak lokasi peninggalan-peninggalan.

”Bapak dan Ibu tidak pernah cerita. Dahulu Kakek pernah cerita waktu saya masih kecil, tetapi sekarang sudah lupa. Di sekolah pun, sejarah lokal kurang mendapat perhatian,” kata Suwito yang turut menyaksikan kegiatan Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Kabupaten Rembang menyusuri jejak-jejak Majapahit di Desa Kajar, Sabtu (15/8).

Desa Kajar terletak di lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari Pegunungan Lasem. Dari kota tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem, desa dengan sumber air yang melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan.

Desa Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan itu berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung Kajar.

Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari sejarah Kadipaten Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan laporan ”Rekonstruksi Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten Rembang, Kadipaten Lasem muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan Pertimbangan Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.

Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi, adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan, yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.

Dalam Nagarakertagama dan Tafsir Sejarahnya karya Slamet Mulyana, kisah Dewi Indu dan Rajasawardana tercatat di terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI. Dalam Pupuh V Ayat 1 disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta: Puteri jelita, bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama Indudewi Puteri Wijayarajasa”.

Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat 1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya Raja dan rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala”.

Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre Lasem Menurunkan puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana Bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.

Kawruh ajaran

Sejarawan Lasem, Slamet Widjaya, mengatakan, Lasem, khususnya Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit. Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan Majapahit.

”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,” kata Slamet.

Menurut dia, bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk berkunjung ke Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu sekaligus sebagai prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem membuat ukiran telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng Gunung Kajar.

Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada dan warga Desa Kajar meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki Hayam Wuruk. Warga kerap menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu tapak.

Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting Desa Kajar selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang terletak di Gunung Kajar.

Goa pertama merupakan tempat menyepi pejabat atau panglima Majapahit. Goa itu hanya muat untuk satu orang. Goa kedua merupakan tempat para prajurit yang dibawa pejabat atau panglima Majapahit itu berjaga-jaga. Goa kedua itu dapat memuat sekitar 15 orang.

Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah, pejabat atau panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia duduk di sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu sebagai kursi kajar.

Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar sebagai tempat yang membawa kesuburan bagi daerah lain karena banyak sumber mata air, Bhre Lasem membuat lingga berhuruf palawa di dekat lingga pada zaman batu dan salah satu mata air Kajar.

”Lantaran tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi. Begitu pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar kursi, juga tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi karena telah hancur sebagian,” kata Ketua Umum MSI Kabupaten Rembang Edi Winarno.

Pelestarian sejarah

Untuk melestarikan situs Majapahit di Desa Kajar, Lasem, MSI berupaya mengajak warga sekitar dan guru turut menjaga situs sesuai dengan peran mereka masing-masing. Sebagai langkah awal, MSI menapak tilas peninggalan-peninggalan itu bersama 100 guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah di Rembang. ”Kami berupaya memperkenalkan studi sejarah lokal berbasis realitas kepada para guru. Harapannya, mereka dapat menerapkan metode itu kepada murid-muridnya,” kata Edi.

Selain itu, lanjutnya, MSI berupaya mendokumentasikan situs sejarah Majapahit tersebut. Dokumentasi itu merupakan salah satu materi rekomendasi MSI kepada Pemerintah Kabupaten Rembang.

MSI berharap Pemkab Rembang menjadikan situs Majapahit di Lasem sebagai laboratorium sejarah. Situs itu dapat pula menjadi tempat wisata penyusuran jejak-jejak peninggalan Majapahit di Lasem.

”Selama ini, tidak banyak masyarakat yang tahu bahwa di Lasem ada peninggalan Majapahit. Pemkab pun selama ini kurang memedulikan aset sejarah dan wisata itu sehingga benda-benda di situs itu banyak yang tidak terawat,” ujarnya. (HEN)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/0323093/Menapaki.Jejak.Majapahit.di.Kajar..Lasem

Minggu, 10 November 2013

Carita Lasem: Pelengkap Sejarah Kemerosotan Majapahit

Kitab Carita (Sejarah) Lasem (CSL) terkait erat dengan kitab Sabda Badra-Santi (SBS), namun uraian isi kitab CSL berbeda dengan uraian SBS. Keduanya digabungkan dalam satu berkas dan telah dicetak dalam bentuk buku dalam tahun 1985 untuk keperluan masyarakat yang meminatinya. Kedua kitab tersebut agaknya memang merupakan satu kesatuan utuh, bagian awal dimulai dengan penuturan perihal sejarah Lasem sejak mulai masa kejayaan Majapahit, masa penyebaran Islam, hingga masa pemerintahan VOC-Belanda, semuanya itu diuraikan dalam CSL yang disusun oleh R.Panji Kamzah pada tahun Jawi 1787 (1858 M). Kemudian pada tahun 1920 CSL ditulis ulang sesuai dengan aslinya oleh R.Panji Karsono. Pada bagian berikutnya diuraikan ajaran SBS berisikan banyak hal tentang aspek-aspek kehidupan yang patut diteladani dan diikuti oleh warga masyarakat pada umumnya terutama di daerah Lasem, salah satu kota penting dalam masanya di wilayah pantai utara Jawa Tengah bagian timur, jadi hampir dekat dengan wilayah Propinsi Jawa Timur sekarang. Uraian CSL hingga keruntuhan Majapahit dan SBS dipercaya digubah oleh mPu Santibadra pada tahun 1401 Saka (1479 M), salah seorang keturunan penguasa Lasem pertama di masa Majapahit. Riwayat hidup mPu Santibadra diuraikan dalam CSL, jadi memang CSL mendahului SBS. Adapun uraian CSL pada zaman VOC-Belanda adalah tambahan yang disusun oleh penulis kemudian,yaitu R.Panji Kamzah.
Menurut kepercayaan rakyat Lasem, kitab CSL dan SBS semula hanyalah tutur, jadi merupakan pengetahuan yang disampaikan secara lisan. Mungkin CSL dan SBS dahulu pernah ada dalam bentuk lontarnya, namun ketika Belanda datang kedua kitab itu dimusnahkan, dan hanya isinya saja yang terus diingat oleh mereka yang mengapresiasinya. Barulah pada pertengahan abad ke-19 narasi lisan tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Semula terdapat tradisi yang menganjurkan agar CSL dan SBS tidak boleh dituliskan, karena sebagian isi CSL dan SBS ada yang bersemangat menentang kekuasaan VOC-Belanda. Menurut pernyataan dalam CSL dan SBS ketika kedua kitab itu pertama kali dituliskan kembali dalam tahun 1858 M, menggunakan bahasa dan aksara Jawa (ha-na-ca-ra-ka). Alih aksara ke dalam aksara latin pertama kali dilakukan pada tahun Jawa 1857 (1920 M). Upaya untuk mencetaknya dalam bentuk buku dilakukan oleh U.P.Ramadharma dan S.Reksowardojo sejak tahun 1966, barulah dalam tahun 1985 terbit dalam bentuk buku, terbitan tahun 1985 itulah yang menjadi data utama kajian ini.
Sebenarnya uraian CSL banyak mengandung data sejarah, informasi yang termaktub di dalamnya sejalan dengan pengetahuan kesejarahan yang diuraikan dalam berbagai sumber tradisi lainnya, bahkan terdapat pula data baru yang tidak disebutkan dalam berbagai sumber tertulis yang telah dikenal sebelumnya. Dengan demikian informasi kesejarahan yang terkandung dalam CSL dapat melengkapi uraian sejarah yang masih gelap atau samar pada babakan terakhir kerajaan Majapahit. Uraian CSL menjelaskan perihal para penguasa Lasem kuno dalam era Majapahit, periode Islamisasi di wilayah pantai utara Jawa Tengah bagian timur dan Jawa Timur bagian barat, perjuangan rakyat Lasem melawan VOC-Belanda dan juga nafas keagamaan yang pada waktu itu berkembang di wilayah Lasem. Jadi terdapat aspek-aspek sejarah perkembangan Islam, agama Hindu zaman Majapahit, agama orang Cina perantauan yang pada waktu itu datang, agama orang-orang Campa, serta agama Buddha yang akhirnya tetap bertahan di wilayah Lasem.
Telah dikemukakan bahwa konon kitab CSL dan SBS digubah oleh mPu Santibadra pada tahun 1401 Śaka (1479 M). Sang mPu sebenarnya seorang pangeran keturunan para penguasa Lasem, namun ia memilih jalan sebagai seorang pendeta Buddha Mahāyana yang akhirnya kembali ke Lasem ketika Majapahit di ambang keruntuhannya. Apabila benar demikian, mPu Santibadra itu hidup dalam periode pemerintahan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya di kota Majapahit. Berdasarkan berbagai sumber sejarah dapat diketahui bahwa masa pemerintahan Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya berlangsung antara tahun 1396—1441 Ś atau 1474—sekitar 1519 M. Menurut uraian CSL Pangeran Santibadra pernah tinggal di kota Majapahit dalam masa pemerintahan Bhre Kertabhumi. Pada waktu Majapahit digempur Dyah Ranawijaya dari Kadiri yang memeluk Hindu-Tantrayana, Pangeran Santibadra kembali ke Lasem, selama perjalanannya ia menyamar sebagai santri agama Islam (CSL 1985: 53).
Walaupun disusun oleh seorang pendeta Buddha, namun isi SBS sebagian besar berkenaan dengan berbagai kebajikan yang dapat diterapkan oleh masyarakat umumnya, jadi bukan khusus untuk para pemeluk ajaran Buddha. Akan tetapi karena menyeru Buddha dalam bagian pembukaan kitab tersebut, maka kedua kitab itu kemudian disimpan dan dipelajari oleh umat Buddha Mahayana di wilayah yang sama, terutama oleh mereka yang kerapkali bersembahyang di vihara-vihara (kelenteng). Berdasarkan kenyataan itulah maka kitab CSL dan SBS dipandang sebagai kitab keagamaan Buddha Jawa yang dahulu pernah berkembang di wilayah Lasem.

/02/ Kandungan Data Sejarah

Hal yang menarik dari kitab CSL adalah adanya kandungan sejarah, pada bagian awal kitab itu dinyatakan bahwa pada tahun Śaka 1273 (1351 M) yang menjadi penguasa Lasem adalah Ratu Dewi Indu, adik sepupu Prabu Hayam Wuruk yang sedang berkuasa di Wilwatikta (Majapahit). Ia bersuamikan Pangeran Rajasawardana yang menjadi dhang puhawang Wilwatikta, berkuasa atas jung-jung perang Wilwatikta di pelabuhan Kaeringan dan pelabuhan Regol di Lasem. Tokoh ini juga merangkap menjadi adipati di wilayah Matahun, demikian tutur CSL (CSL 1985: 10).
Berita tersebut ternyata sejalan dengan uraian kakawin Nāgarakrtāgama yang menyatakan bahwa pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk (1350—1389 M) Bhre (Bhattara i) Lasem ialah Śrī Rājasaduhitendudewī (Nag.5:1). Nāgarakṛtāgama selanjutnya menyatakan bahwa Śrī Rājasaduhitendudewī (Dewi Indu) bersuamikan Bhre Matahun yang bernama Rājasawarddhana (Nag.6:1) atau julukan lainnya dalam kitab Pararaton ialah Raden Larang (Harjowardojo 1965: 51). Dalam prasasti Waringin Pitu (tahun 1369 S/1447 M), negara daerah Lasem tidak disebut-sebut lagi, mungkin wilayah Lasem sudah digabungkan dalam sistem pemerintahan negara daerah Matahun, mengingat suami Śrī Rājasaduhitendudewī, yaitu Rajasawardana penguasa wilayah Matahun (Djafar 1978: 120).
Sumber-sumber tertulis baik Nāgarakṛtāgama, Pararaton, maupun prasasti-prasasti sezaman tidak menjelaskan keturunan dari Śrī Rājasaduhitendudewī dan Rajasawardana, oleh karena itu mereka berdua dianggap tidak berputra. Akan halnya CSL menyebutkan bahwa mereka mempunyai anak keturunan yaitu Pangeran Badrawardhana, yang kemudian berputra Pangeran Wijayabadra, lalu Wijayabadra menurunkan Pangeran Badranala. Tokoh itu kemudian kawin dengan Putri asal Campa bernama Bi Nang Ti, dari perkawinan tersebut lahirlah dua putra, yaitu Pangeran Wirabajra dan Santibadra, sepeninggal Badranala yang menggantikan sebagai penguasa daerah Lasem adalah Pengeran Wirabajra (CSL 1985: 12). Sementara Pangeran Santibadra pergi ke Majapahit, ia menyaksikan jatuhnya kota Majapahit ke tangan tentara Kadiri yang dipimpin oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.
Menurut Pararaton peristiwa dikalahkannya Bhre Kertabhumi terjadi pada tahun Saka “sunya-nora-yuganing-wong” atau 1400 Śaka (1478 M) (Hardjowardojo 1965: 59). Dalam hal ini CSL menguraikan cukup jelas dan logis kemana perginya Bhre Kertabhumi, penguasa Majapahit yang berhasil dikalahkan oleh Ranawijaya. Jika Babad Tanah Jawi menyatakan bahwa Brawijaya Kertabhumi moksa dengan badan kasarnya, maka CSL menyatakan, “Sang Prabhu Bhre Kertabhumi lolos melu aneng pepanthan kono, kanthi nylamur dadi sramana Buddha sirahe gundhul plonthos ngagem jubah kuning…” (CSL 1985: 52). Ternyata dapat diketahui bahwa Bhre Kertabhumi menyamar menjadi pendeta Buddha, berkepala gundul, mengenakan jubah kuning mengungsi meninggalkan Majapahit. Jadi tokoh tersebut bukannya “moksa” melenyap ke kahyangan sebagaimana yang dipercaya dalam berbagai berita tradisi selama ini.
Kandungan sejarah lainnya yang diungkapkan dalam CSL adalah beberapa alasan mengenai banyaknya penduduk Jawa yang beralih agama, semula memeluk agama Hindu atau Buddha kemudian memeluk agama Rasul (Islam). CSL menyatakan, “sabab pranatan lan sipate agama sing anyar sing lagi sumebar kuwi:
1.Ora kakehan ragad, ora kakehan ngetokake dhuwit, ora kakehan mbuwang barang kang tanpa tanja.
2.Ora kakehan sajen-sajen lan upacara-upacara sing pating clekunik
3.Ora kakehan puja mantra sing nglantur dawa
4.Ora kakehan leladi bekti marang dewa-dewa utama makhluk-makhluk maya
5.Ora ana tatacara sing ngrekasakake raga
6.Mbrastha kasta lan nyuwak panglengkara
7.Sayuk rukun, nglungguhi tatakrama (CSL 1985: 50)
Terjemahannya lebih kurang:
“Sebab pranata dan sifat agama yang baru dan sedang menyebar tersebut (agama Islam):
1.tidak banyak macam-macam, tidak banyak mengeluarkan uang, tidak banyak membuang barang secara sia-sia.
2.tidak banyak sesajian dan upacara yang “njlimet”
3.tidak banyak membaca mantra pemujaan yang berpanjang-panjang
4.tidak banyak macam persembahan kepada dewa-dewa utama makhluk maya
5.tidak ada kegiatan yang menyusahkan dan melelahkan badan
6.menghapuskan kasta dan mengabaikan peringkat kekayaan
7.selalu rukun sesuai aturan…”
Demikianlah penyebaran Islam di Tanah Jawa selain terjadi karena dilakukan secara sadar oleh para ulama, mubaligh dan Wali Songo; ternyata menurut CSL penduduk pribumi secara tidak langsung mempunyai pertimbangan sendiri sehingga mereka berbondong-bondong pindah meninggalkan agama Hindu, Buddha, dan Hindu-Tantrayana ke agama baru, yaitu Islam.
Walaupun demikian corak agama Islam di Jawa mempunyai karakternya tersendiri, proses Islamisasinya tentunya sukar karena kebudayaan praIslam yang berkembang sebelumnya cukup mendalam (Saksono 1995: 228—29). Agama Islam di Jawa dikembangkan dengan tetap memperhatikan nilai dan tradisi yang telah dikenal sebelumnya. Berhubung Islam di Jawa pada awalnya dikembangkan dengan damai, maka dalam uraian CSL terdapat simpati terhadap perkembangan agama baru tersebut, walau semangat agama Buddha di dalamnya cukup kentara. Disebutkan pula mengapa Islam cepat sekali berkembang setelah kejatuhan Bhre Kertabhumi, bahwa penyebabnya adalah perilaku Adipati Girindrawarddhana dari Kedhiri yang memberontak menyerbu dan merusak kota Majapahit, banyak penduduk yang dibunuh dan disiksa, oleh karena itu orang-orang Majapahit mencari persembunyian dan perlindungan di pusat-pusat pendidikan agama Islam, pondok-pondok pesantren semakin berkembang pesat (CSL 1985: 52). Mereka takut dengan perilaku Girindrawarddhana dan orang-orang Kadiri yang menganut Tantrayana dengan ritual agama yang cukup menyeramkan dalam pandangan masyarakat awam. Pemberontakan Girindrawarddhana terhadap raja Majapahit tersebut agaknya menarik untuk diperbincangkan, karena dalam sejarah Singhasari-Majapahit perseteruan antara pihak Kadiri dengan dinasti Rajasa keturunan Ken Angrok tersebut telah berkembang lama. Mengenai hal ini akan diperbincangkan lebih lanjut dalam uraian berikut dalam risalah ini.

/03/ Bhre Kertabhumi: Kekacauan Internal

Majapahit pada masa pemerintahan Bhre Kertabhumi dalam keadaan yang begitu lemah, tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat dan kuat. Para penguasa daerah agaknya telah berdiri bebas dengan tidak ada pengawasan dari raja Majapahit. CSL menyatakan:
“Kekuwunge Majapahit malih surem, kuncarane praja prebawa lan wibawane Narendra malih suda, pamrentahane semrawut ruwed moyag-mayig, punggawa praja ora ana sing tentrem atine, padha pitnah-pinetnah. Kawula cilik padha prihatin nandang cingkrang mangan kurang, kawuwuhan kampak maling, begal rajapati ngambra-ambra rina wengi nggegirisi. Para penggedhe akeh sing wis ora setya maring praja, ora mikir maring susah sengsarane kawula cilik. Anane mung tansah padha nguja kamurkan kasenengan madad, main, madon, lan mangani, padha jor-joran nggalang omah brenggi njenggarang sarta lumbunge magrong-magrong. Kanthi ngiwut negori wit gedhe-gedhe, ora ngelingi rusake alas sumberan padha mbrabas; kang wekasan ndadekake banjir bandhang gedhe nganti mbobolake tanggul-tanggule bengawan Brantas, tegal sawah ratan lan karang padesan padha krampak keblebeg banyu, rusak morat-marit ora kelar ngramut” (CSL 1985: 51).
(”Pelangi Majapahit berubah suram, keterkenalan, kharisma pejabat, dan wibawa raja berangsur berkurang, pemerintahan semrawut ruwet, gonjang-ganjing, pejabat pemerintahan tidak ada yang hatinya tentram, saling memfitnah. Rakyat kecil semua prihatin, mengalami kekurangan pangan, kesusahan karena maling, begal, pembunuhan merajalela malam hari sangat mengkhawatirkan . Banyak para pejabat yang sudah tidak setia kepada pemerintahan, tidak memikirkan perihal susah sengsaranya rakyat kecil. Hal yang ada hanyalah senantiasa mengumbar kemurkaan, kesenangan, madat, main perempuan, dan makan enak, saling bebas membangun rumah besar megah, serta lumbung yang besar-besar kokoh. Untuk itu menebang pohon-pohon besar, tidak ingat akan rusaknya hutan sumber air yang gundul, pada akhirnya menjadikan banjir bandang besar sehingga membobolkan tanggul-tanggul bengawan Brantas, tegalan, sawah, dataran, dan tanah pedesaan semuanya penuh terisi air, rusak berantakan tidak cepat kembali pulih”
Bagian lain dari kitab CSL menguraikan kondisi Majapahit beberapa waktu sebelum keruntuhannya, dinyatakan sebagai berikut:
“Wong-wong Majapahit ora ngira babar pisan yen negarane bakal ana kedadiyan pokal mrusal ndhadhal-ndhadhal, akal-akal nggawe pepati lan cilakane wong akeh; kawula cilik kang mung manut ngatut nurut apa kersane penggedhe-pendhuwuran, ora ngerti ora edhung marang ubeng, jantrane pusara-praja. Jebulane yen ana owah-owahaning pranatan wong gedhe rebutan kamulyan, para Bendara rebutan pangwasa, wong pinter padha mblinger, sing wis padha mukti mamerke suci; kok yan wong cilik sing dijungkir walik ditengkik digawe benthik, wong-wong sing bodho kaya kebo dikeleni didu kaya jangkrik, pating pendelik nyebar serik nyebar pepati tunggal cilik.
Para penggede sing jenggarang mung angger mbegang ngerang-erang, sing salah jare wong cilik wong sudra sing ngangsa arep ngrebut pangwasa,… Anane wong cilik mung sarwa salah, mung sarwa ketiban dhenggung…” (CSL 1985: 52).
(“Orang-orang Majapahit tidak menduga sama sekali apabila negaranya akan mengalami kerusuhan yang kacau, membuat kematian dan penderitaan banyak orang; abdi orang rendahan hanya mengikuti menurut apa keinginan para pembesar dan petinggi, tidak mengerti, tidak paham dan tidak tahu roda pemerintahan. Akibatnya jika ada perubahan pranata orang-orang besar berebut kemulyaan, para tuan berebut kekuasaan, orang pintar semua menyeleweng, orang-orang yang sudah sejahtera memamerkan kecucian, adapun orang kecil dijungkir balik, diringkus, dibuat tidak berkutik, orang-orang bodoh seperti kerbau dibohongi, diadu seperti jangkrik, semua saling melotot menyebar bencana, menyebar kematian orang-orang kecil.
Para pembesar yang tampil megah tetap saja duduk dengan mantap dan nyaman, yang salah tetap saja orang kecil, orang sudra yang dianggap akan merebut kekuasaan… Dinyatakan orang kecil serba salah, hanya kejatuhan gong besar”).
Berdasarkan uraian CSL tersebut dapat diketahui bahwa Majapahit sudah demikian kacaunya, bahkan bencana alam yang berupa banjir pun kerapkali terjadi. Disebutkan pula bahwa bobolnya tanggul Sungai Brantas pernah terjadi dengan dahsyatnya, sehingga banjir yang melanda sangat besar melebihi yang biasanya terjadi. Penderitaan dialami rakyat kecil, banyak yang tewas sedangkan orang kaya dan para pembesar enak-enak menaiki perahu hilir mudik, ke barat dan ke timur. CSL mengutarakan: “…menawa besuk kali bengawan Brantas bakal banjir bandhang luwih dening gedhe, kawula cilik sing luwih cilaka keblebeg banyu ketenggor-tenggor watu, wong kendel padha kepuntel, wong-wong gedhe ngenak-enak nunggang prau milir mudhik ngetan ngulon…” (CSL 1985: 51).
Dalam kondisi yang serba tidak baik untuk negara itu, patih Majapahit di masa pemerintahan Bhre Kertabhumi sudah tidak setia lagi kepada raja. Patih yang bernama Kertadinaya telah memeluk agama Rasul (Islam) sehingga tidak memperhatikan keadaan kerajaan, pejabat tinggi lainnya ialah Tumenggung Warak Jabon menjadi pengikut agama Tantrayana yang juga dipeluk dan dikembangkan oleh Adipati Kadiri Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.
Sehingga pada suatu hari di kala fajar pagi hari datanglah pasukan pemberontak dari Kadiri dipimpin oleh Girindrawarddhana memasuki kota Majapahit. Pertempuran pun segera terjadi dan dimenangkan oleh pihak Girindrawarddhana yang agaknya telah dibantu oleh Tumenggung Warak Jabon dan patih Kertadinaya. Keduanya bukan menyongsong musuh dan memadamkan kerusuhan tersebut, malah sebaliknya menyingkir jauh-jauh sebelum pecahnya pertempuran. Tentara Kadiri banyak membunuh penduduk Majapahit yang setia kepada raja, mereka yang masih selamat mengungsi tidak tentu arah. Banyak yang kemudian menuju selatan ke Gunung Brahma (Bromo) di pedalaman, dan ke arah timur terus sehingga mencapai laut sempit dan menyeberang ke Pulau Pura Dewa (CSL 1985: 52).
Telah disebutkan terdahulu bahwa Raja Kertabhumi juga mengungsi dengan menyamar sebagai pendeta agama Buddha berambut gundul dan berjubah kuning, akan tetapi tidak disebutkan ke arah mana sang raja itu mengungsi. Mungkin saja Bhre Kertabhumi juga mengungsi ke Pulau Bali bersama banyak penduduk Majapahit lainnya, atau juga berdiam di suatu lokasi di pedalaman Jawa bagian timur hingga akhir hayatnya.

/04/ Pelengkap Sejarah Akhir Majapahit

Berdasarkan pemerian Carita Lasem, dapat diketahui secara rinci penyebab jatuhnya kota Majapahit dari penguasa Bhre Kertabhumi. Majapahit runtuh didahului dengan keadaan yang kacau, tidak ada kekuasaan yang memadai, rendahnya wibawa para pejabat, dan tidak tegaknya hukum, sehingga terjadi kemerosotan kehidupan dan timbulnya kejahatan di mana-mana. Keadaan buruk itu diperparah oleh banjir yang kerapkali terjadi akibat meluapnya air dari Sungai Berantas.
Meluasnya agama Islam secara cepat di kalangan masyarakat Majapahit dan Jawa bagian timur masa itu terjadi akibat kemauan masyarakatnya sendiri yang memerlukan agama Islam. Beberapa alasan menurut CSL telah dikemukakan di bagian terdahulu, dan di bagian lain CSL dinyatakan bahwa penduduk berbondong-bondong masuk pesantren-pesantren demi alasan keamanan dan kesejahteraan kehidupan mereka. Oleh karena itu perkembangan pesantren begitu pesat, jumlahnya bertambah banyak menggantikan peran wanaśrama-mandala, kadewaguruan, atau juga karsyan. Pendidikan di pesantren tetap melanjutkan tata cara pendidikan sisya di mandala atau kadewaguruan. Di lingkungan pendidikan yang terletak jauh dari keramaian di lereng gunung berhutan lebat itu tinggal seorang guru, mahapandita, atau siddhaguru, dewaguru yang tinggi ilmunya, dibantu oleh para abdinya terdiri dari ubwan (para ajar pendeta perempuan), manguyu para abdi dewaguru yang merupakan pendeta laki-laki, dan dalam jumlah banyak para kaki (murid lelaki) dan para endang (murid perempuan) yang merupakan para pendeta muda, mereka sedang belajar memperdalam ilmu agama, karena jumlah penghuninya cukup banyak, maka mandala/kadewaguruan tersebut membentuk suatu pedukuhan di lereng gunung (Santiko 1990: 163). Tentu saja yang diajarkan adalah perihal agama Hindu atau Buddha, atau juga hakekat persatuan Hindu-Buddha. Dalam lingkungan pesantren juga sama, kyai sepuh yang tinggi ilmu agama Islamnya tinggal bersama dengan para pembantunya yang mendidik sejumlah santri. Masalah sumber pangan agaknya juga melanjutkan tradisi mandala, yaitu para santri menanam sendiri sejumlah tanaman pangan yang dapat dimanfaatkan oleh penghuni pesantren secara bersama. Oleh karena itu banyak penduduk Majapahit terutama kalangan mudanya yang tertarik memasuki pesantren demi pendidikan dan kehidupannya yang lebih baik dan aman, sementara itu kehidupan di luar pesantren sangat mengkhawatirkan dengan segala kekacauan Majapahit yang tidak dapat diatasi oleh kekuasaan kerajaan.
Keadaan Majapahit yang kalang kabut agaknya harus segera diakhiri, wibawa kerajaan harus segera dipulihkan kembali, dan raja lama Bhre Kertabhumi harus segera disingkirkan, mungkin demikian yang ada dalam pikiran Dyah Ranawijaya. Ia lalu mengerahkan tentara Kadiri untuk menyerang kota Majapahit, dan jatuhlah kerajaan yang telah didirikan oleh Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya ke tangan orang-orang Kadiri.
Mengenai tokoh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya cukup menarik untuk diperbincangkan, para sarjana Belanda antara lain N.J.Krom (1923, 1931), W.F.Stutterheim (1932, 1952), dan B.J.O.Schirieke (1957) dalam penelitian terdahulu menyatakan bahwa Dyah Ranawijaya adalah anggota dinasti baru Girindrawarddhana yang muncul di akhir Majapahit. Akan tetapi pendapat para ahli Belanda tersebut dibantah oleh Hasan Djafar yang menyatakan bahwa di akhir Majapahit tidak ada dinasti baru Girindrawarddhana, nama Girindrawarddhana yang dipakai oleh raja-raja Majapahit akhir sebenarnya menyatakan bahwa mereka adalah penerus dinasti Girindra (Girindrawangsa) atau dengan sebutan lain Rajaśawangsa. Dengan demikian raja-raja yang memakai gelar Girindrawarddhana pada namanya itu sebenarnya anggota Rajaśawangsa pula, keturunan Ken Angrok (Djafar 1978: 85). CSL memang tidak menjelaskan jatidiri dari Girindrawarddhana dari Kadiri, akan tetapi terdapat hal menarik perihal agama yang dianut oleh tokoh tersebut. Dinyatakan bahwa Girindrawarddhana menganut agama Tantrayana. Mengenai agama tersebut jelas berbeda dengan agama yang dianut oleh Bhre Kertabhumi, raja Majapahit tersebut agaknya menganut agama Hindu-śaiwa. Tantrayana adalah salah satu sekte dalam Hinduisme yang bertujuan bersatu dengan dewata pada waktu manusia tersebut masih hidup. Dalam agama Buddha juga dikenal sekte Tantrayana Mantrayana dalam ajaran Buddha Mahayana. Sekte Tantrayana baik Hindu ataupun Buddha mengarcakan ikon-ikon dewa mereka dalam wujud yang menyeramkan (krodha atau ugra).
Akan halnya Girindrawarddhana, dari julukannya itu dapat diketahui dia pemeluk Tantrayana Hindu, sebab Girindra atau giri + indra artinya “raja gunung” yang juga sama dengan Siwa sebagai raja gunung, penguasa gunung. Girindrawarddhana berarti penerus atau “keturunan raja gunung”, atau keturunan Siwa. Sangat mungkin tokoh tersebut mempunyai ambisi untuk memperluas pengaruh Tantrayana kepada penduduk Majapahit dengan menyerang Majapahit dan menurunkan Bhre Kertabhumi dari tahtanya. Menurut CSL yang terjadi adalah penduduk Majapahit tetap tidak mau menganut Tantrayana, justru mereka berpencar meninggalkan kota mengungsi ke berbagai arah, ada yang ke pegunungan Anjasmoro, Welirang, dan Penanggungan, ke Bromo, menyeberang ke Bali dan dan banyak juga yang segera memasuki agama Islam karena mereka berlindung di pesantren-pesantren di wilayah pantai utara Jawa bagian timur. Serangan Girindrawarddhana tersebut sejatinya menjadi salah satu sebab makin banyaknya penduduk Majapahit yang beralih agama memeluk agama Islam.
Majapahit sebagai kota besar masih terus bertahan setelah direbut oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, dia sendiri agaknya memindahkan kedudukannya yang semula di Kadiri lalu menjadi penguasa Majapahit dengan julukan Paduka Śrî Mahāraja Śrî Wilwatikta-Daha-Janggala-Kadiri. Jatuhnya Majapahit oleh Girindrawarddhana yang diperingati oleh Serat Kanda dengan ungkapan “Sirna ilang kertaning bhumi” sebenarnya tidak hanya disebabkan oleh alasan politik, perebutan kekuasaan melainkan juga ada alasan lain, yaitu penyebaran pengaruh agama Tantrayana di Majapahit. Upaya Girindrawarddhana untuk memperluas pengaruh Tantrayana di Majapahit justru gagal, karena banyak penduduknya yang bubar tidak lagi mau menetap di dalam kota itu.

/05/ Epilog

Kitab Carita (Sejarah) Lasem sebagai hasil historiografi daerah ternyata penting untuk diperhatikan. Kitab tersebut tidak hanya menguraikan tentang peranan daerah Lasem di masa silam, masa Majapahit; namun juga mengutarakan adanya perspektif lain tentang jatuhnya Majapahit pada tahun 1400 Śaka ke tangan penguasa Kadiri. Dalam CSL dijelaskan bahwa jatuhnya Majapahit karena kekacauan internal yang sangat luar biasa di Majapahit sendiri. Para pejabat saling memfitnah, dan iri hati terhadap yang lain (CSL 1985: 50). Mereka juga berlomba-lomba memperkaya diri, tidak memperhatikan tugas-tugas yang harus dikerjakan, akibatnya rakyat kecil mengalami penderitaan luar biasa, susah sandang dan pangan.
Agama Islam berkembang tanpa paksaan, rakyat Majapahit menerima agama tersebut secara sukarela karena berbagai alasan logis jika dibandingkan dengan agama sebelumnya, Hindu, Buddha, atau Hindu-Tantrayana yang cukup rumit dalam ritualnya. Perkembangan Islam dipercepat juga dengan sistem pendidikan pesantren, rakyat jelata banyak yang memasuki pesantren dan menjadi santri karena alasan keamanan dan juga kesejahteraan hidup.
Dalam CSL disebutkan juga tokoh Dang Hyang Asthapaka, tokoh tersebut dikenal sebagai pendeta Buddha yang berasal dari Campa dan bermukin di Taman Banjar Mlathi, Lasem. Ia meramalkan bahwa pada suatu ketika mengalami kekacauan yang luar biasa dan timbul pemberontakan yang menghancurkan kota Majapahit (CSL 1985: 52). Tokoh Dang Hyang Asthapaka dikenal juga di Bali sebagai pendeta Buddha yang berasal dari Majapahit. Bersama dengan Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Asthapaka dipandang sebagai tokoh pembaharu kehidupan keagamaan di Bali, keduanya hidup dalam zaman pemerintahan Raja Waturenggong (1460—1558 M). Dalam Babad Dalem diberitakan bahwa Dang Hyang Nirartha mendarat di Bali di Desa Kapurancak tahun 1489 M (Rai Putra 1995: 34), pada waktu itu Majapahit telah berada di bawah pemerintahan Dyah Ranawijaya.
Dyah Ranawijaya Adipati Kadiri yang menyerang kota Majapahit ternyata beragama Tantrayana, sekte Hindu yang melakukan ritus dengan cukup menyeramkan. Rakyat Majapahit juga tidak menyukai agama tersebut, mereka menghindari Dyah Ranawijaya yang kemudian menduduki kota Majapahit. Alasan Dyah Ranawijaya untuk merebut Majapahit ternyata tidak semata-mata perebutan kekuasaan antara sesama anggota dinasti Girindrawangsa atau Rajasawangsa keturunan Ken Angrok, akan tetapi juga bermotifkan upaya menyebarkan Tantrayana di wilayah Majapahit.
Perilaku Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya sebagai penguasa daerah yang mengadakan pemberontakan dan menyerang kedaton tempat persemayaman Sri Maharaja, sangat mirip dengan perilaku Jayakatwang penguasa Gelang-gelang yang memberontak, menyerang, dan menewaskan raja Singhasari terakhir, Krtanagara dalam tahun 1292 M. Kedua tokoh pemberontak tersebut berjaya dalam usahanya, namun Jayakatwang tidak lama menjadi raja di tanah Jawa, ia berhasil dikalahkan oleh gabungan tentara Tartar dan para pengikut Raden Wijaya. Akan hanya Dyah Ranawijaya berhasil menjadi Sri Maharaja selama beberapa puluh tahun kemudian, hingga Majapahit benar-benar runtuh antara tahun 1518—1525 M.
Pada akhirnya mungkin juga masih banyak karya historiografi daerah lainnya seperti CSL yang berupa naskah, namun hingga sekarang masih belum ditelaah lebih lanjut. Di masa mendatang kajian terhadap kitab-kitab yang menguraikan tentang sejarah daerah agaknya perlu dicermati, sebab di dalamnya bisa saja mengandung data sejarah yang cukup penting untuk pelurusan, perbaikan, atau bersifat melengkapi uraian sejarah yang telah dikenal.

DAFTAR PUSTAKA

Djafar, Hasan, 1978, Girīndrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
Hardjowardojo, Pitono, 1965, Pararaton. Djakarta: Bhratara.
Kamzah, R.Panji, 1985. Carita (Sejarah) Lasem Gubahanipun R.Panji Kamzah ing Tahun Masehi 1858 (taun Jawi 1787) Katurun/Kajiplak dening R.Panji Karsono ing taun Masehi 1920 (taun Jawi 1857). Semarang: Pambabar Pustaka.
Pigeaud, G.Th.Pigeaud, 1960, Java in The 14th Century A Study in Cultural History: The Nāgara-Kěrtagama By Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D. Volume I: Javanese Texts in Transcription. The Hague: Martinus Nijhoff.
Rai Putra, I.B., 1995.Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra.
Saksono,Widji, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Wali Songo. Bandung: Mizan.
Santiko, Hariani, 1990. “Kehidupan Beragama Golongan Rsi di Jawa”, dalam Edi Sedyawati dkk.(Penyunting), Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof.Dr.R.Soekmono. Lembaran Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No.11 Edisi Khusus. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 156—171.

Lasem Kota Tiongkok Kecil

Salah satu tempat berkembangnya para imigran dari Tiongkok terbesar di Pulau Jawa abad ke-14 sampai 15 adalah Lasem (Lao Sam) selain di Sampotoalang (Semarang) dan Ujung Galuh (Surabaya). Datangnya armada besar Laksamana Cheng Ho ke Jawa sebagai duta politik Kaisar China masa Dinasti Ming yang ingin membina hubungan bilateral dengan Majapahit terutama dalam bidang kebudayaan dan perdagangan negeri tersebut, mereka memperoleh legitimasi untuk melakukan aktivitas perniagaannya dan kemudian banyak yang tinggal dan menetap di daerah pesisir utara Pulau Jawa. Bahkan menurut N.J. Krom, perkampungan China d masa Kerajaan Majapahit telah ada sejak 1294-1527 M. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan tua seperti permukiman Pecinan dengan bangunan khas Tiongkoknya dan kelenteng tua yang berada tak jauh dari jalur lalulintas perdagangan di sepanjang aliran Sungai Babagan Lasem (kala itu disebut Sungai Paturen) yang pada waktu itu sebagai akses utama penghubung antara laut dan darat, juga penguasaan tempat-tempat perekonomian yang strategis oleh mereka di kemudian waktu, seperti yang dapat dilihat pada pusat-pusat pertokoan di sepanjang jalan raya kota sekarang ini.