Kitab Carita (Sejarah) Lasem (CSL) terkait erat dengan kitab Sabda
Badra-Santi (SBS), namun uraian isi kitab CSL berbeda dengan uraian SBS.
Keduanya digabungkan dalam satu berkas dan telah dicetak dalam bentuk
buku dalam tahun 1985 untuk keperluan masyarakat yang meminatinya. Kedua
kitab tersebut agaknya memang merupakan satu kesatuan utuh, bagian awal
dimulai dengan penuturan perihal sejarah Lasem sejak mulai masa
kejayaan Majapahit, masa penyebaran Islam, hingga masa pemerintahan
VOC-Belanda, semuanya itu diuraikan dalam CSL yang disusun oleh R.Panji
Kamzah pada tahun Jawi 1787 (1858 M). Kemudian pada tahun 1920 CSL
ditulis ulang sesuai dengan aslinya oleh R.Panji Karsono. Pada bagian
berikutnya diuraikan ajaran SBS berisikan banyak hal tentang aspek-aspek
kehidupan yang patut diteladani dan diikuti oleh warga masyarakat pada
umumnya terutama di daerah Lasem, salah satu kota penting dalam masanya
di wilayah pantai utara Jawa Tengah bagian timur, jadi hampir dekat
dengan wilayah Propinsi Jawa Timur sekarang. Uraian CSL hingga
keruntuhan Majapahit dan SBS dipercaya digubah oleh mPu Santibadra pada
tahun 1401 Saka (1479 M), salah seorang keturunan penguasa Lasem pertama
di masa Majapahit. Riwayat hidup mPu Santibadra diuraikan dalam CSL,
jadi memang CSL mendahului SBS. Adapun uraian CSL pada zaman VOC-Belanda
adalah tambahan yang disusun oleh penulis kemudian,yaitu R.Panji
Kamzah.
Menurut kepercayaan rakyat Lasem, kitab CSL dan SBS semula hanyalah
tutur, jadi merupakan pengetahuan yang disampaikan secara lisan. Mungkin
CSL dan SBS dahulu pernah ada dalam bentuk lontarnya, namun ketika
Belanda datang kedua kitab itu dimusnahkan, dan hanya isinya saja yang
terus diingat oleh mereka yang mengapresiasinya. Barulah pada
pertengahan abad ke-19 narasi lisan tersebut kemudian dituangkan dalam
bentuk tulisan. Semula terdapat tradisi yang menganjurkan agar CSL dan
SBS tidak boleh dituliskan, karena sebagian isi CSL dan SBS ada yang
bersemangat menentang kekuasaan VOC-Belanda. Menurut pernyataan dalam
CSL dan SBS ketika kedua kitab itu pertama kali dituliskan kembali dalam
tahun 1858 M, menggunakan bahasa dan aksara Jawa (ha-na-ca-ra-ka). Alih
aksara ke dalam aksara latin pertama kali dilakukan pada tahun Jawa
1857 (1920 M). Upaya untuk mencetaknya dalam bentuk buku dilakukan oleh
U.P.Ramadharma dan S.Reksowardojo sejak tahun 1966, barulah dalam tahun
1985 terbit dalam bentuk buku, terbitan tahun 1985 itulah yang menjadi
data utama kajian ini.
Sebenarnya uraian CSL banyak mengandung data sejarah, informasi yang
termaktub di dalamnya sejalan dengan pengetahuan kesejarahan yang
diuraikan dalam berbagai sumber tradisi lainnya, bahkan terdapat pula
data baru yang tidak disebutkan dalam berbagai sumber tertulis yang
telah dikenal sebelumnya. Dengan demikian informasi kesejarahan yang
terkandung dalam CSL dapat melengkapi uraian sejarah yang masih gelap
atau samar pada babakan terakhir kerajaan Majapahit. Uraian CSL
menjelaskan perihal para penguasa Lasem kuno dalam era Majapahit,
periode Islamisasi di wilayah pantai utara Jawa Tengah bagian timur dan
Jawa Timur bagian barat, perjuangan rakyat Lasem melawan VOC-Belanda dan
juga nafas keagamaan yang pada waktu itu berkembang di wilayah Lasem.
Jadi terdapat aspek-aspek sejarah perkembangan Islam, agama Hindu zaman
Majapahit, agama orang Cina perantauan yang pada waktu itu datang, agama
orang-orang Campa, serta agama Buddha yang akhirnya tetap bertahan di
wilayah Lasem.
Telah dikemukakan bahwa konon kitab CSL dan SBS digubah oleh mPu
Santibadra pada tahun 1401 Śaka (1479 M). Sang mPu sebenarnya seorang
pangeran keturunan para penguasa Lasem, namun ia memilih jalan sebagai
seorang pendeta Buddha Mahāyana yang akhirnya kembali ke Lasem ketika
Majapahit di ambang keruntuhannya. Apabila benar demikian, mPu
Santibadra itu hidup dalam periode pemerintahan raja Girindrawarddhana
Dyah Ranawijaya di kota Majapahit. Berdasarkan berbagai sumber sejarah
dapat diketahui bahwa masa pemerintahan Girindrawarddhana Dyah
Ranawijaya berlangsung antara tahun 1396—1441 Ś atau 1474—sekitar 1519
M. Menurut uraian CSL Pangeran Santibadra pernah tinggal di kota
Majapahit dalam masa pemerintahan Bhre Kertabhumi. Pada waktu Majapahit
digempur Dyah Ranawijaya dari Kadiri yang memeluk Hindu-Tantrayana,
Pangeran Santibadra kembali ke Lasem, selama perjalanannya ia menyamar
sebagai santri agama Islam (CSL 1985: 53).
Walaupun disusun oleh seorang pendeta Buddha, namun isi SBS sebagian
besar berkenaan dengan berbagai kebajikan yang dapat diterapkan oleh
masyarakat umumnya, jadi bukan khusus untuk para pemeluk ajaran Buddha.
Akan tetapi karena menyeru Buddha dalam bagian pembukaan kitab tersebut,
maka kedua kitab itu kemudian disimpan dan dipelajari oleh umat Buddha
Mahayana di wilayah yang sama, terutama oleh mereka yang kerapkali
bersembahyang di vihara-vihara (kelenteng). Berdasarkan kenyataan itulah
maka kitab CSL dan SBS dipandang sebagai kitab keagamaan Buddha Jawa
yang dahulu pernah berkembang di wilayah Lasem.
/02/ Kandungan Data Sejarah
Hal yang menarik dari kitab CSL adalah adanya kandungan sejarah, pada
bagian awal kitab itu dinyatakan bahwa pada tahun Śaka 1273 (1351 M)
yang menjadi penguasa Lasem adalah Ratu Dewi Indu, adik sepupu Prabu
Hayam Wuruk yang sedang berkuasa di Wilwatikta (Majapahit). Ia
bersuamikan Pangeran Rajasawardana yang menjadi dhang puhawang
Wilwatikta, berkuasa atas jung-jung perang Wilwatikta di pelabuhan
Kaeringan dan pelabuhan Regol di Lasem. Tokoh ini juga merangkap menjadi
adipati di wilayah Matahun, demikian tutur CSL (CSL 1985: 10).
Berita tersebut ternyata sejalan dengan uraian kakawin Nāgarakrtāgama
yang menyatakan bahwa pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk (1350—1389 M)
Bhre (Bhattara i) Lasem ialah Śrī Rājasaduhitendudewī (Nag.5:1).
Nāgarakṛtāgama selanjutnya menyatakan bahwa Śrī Rājasaduhitendudewī
(Dewi Indu) bersuamikan Bhre Matahun yang bernama Rājasawarddhana
(Nag.6:1) atau julukan lainnya dalam kitab Pararaton ialah Raden Larang
(Harjowardojo 1965: 51). Dalam prasasti Waringin Pitu (tahun 1369 S/1447
M), negara daerah Lasem tidak disebut-sebut lagi, mungkin wilayah Lasem
sudah digabungkan dalam sistem pemerintahan negara daerah Matahun,
mengingat suami Śrī Rājasaduhitendudewī, yaitu Rajasawardana penguasa
wilayah Matahun (Djafar 1978: 120).
Sumber-sumber tertulis baik Nāgarakṛtāgama, Pararaton, maupun
prasasti-prasasti sezaman tidak menjelaskan keturunan dari Śrī
Rājasaduhitendudewī dan Rajasawardana, oleh karena itu mereka berdua
dianggap tidak berputra. Akan halnya CSL menyebutkan bahwa mereka
mempunyai anak keturunan yaitu Pangeran Badrawardhana, yang kemudian
berputra Pangeran Wijayabadra, lalu Wijayabadra menurunkan Pangeran
Badranala. Tokoh itu kemudian kawin dengan Putri asal Campa bernama Bi
Nang Ti, dari perkawinan tersebut lahirlah dua putra, yaitu Pangeran
Wirabajra dan Santibadra, sepeninggal Badranala yang menggantikan
sebagai penguasa daerah Lasem adalah Pengeran Wirabajra (CSL 1985: 12).
Sementara Pangeran Santibadra pergi ke Majapahit, ia menyaksikan
jatuhnya kota Majapahit ke tangan tentara Kadiri yang dipimpin oleh
Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya.
Menurut Pararaton peristiwa dikalahkannya Bhre Kertabhumi terjadi
pada tahun Saka “sunya-nora-yuganing-wong” atau 1400 Śaka (1478 M)
(Hardjowardojo 1965: 59). Dalam hal ini CSL menguraikan cukup jelas dan
logis kemana perginya Bhre Kertabhumi, penguasa Majapahit yang berhasil
dikalahkan oleh Ranawijaya. Jika Babad Tanah Jawi menyatakan bahwa
Brawijaya Kertabhumi moksa dengan badan kasarnya, maka CSL menyatakan,
“Sang Prabhu Bhre Kertabhumi lolos melu aneng pepanthan kono, kanthi
nylamur dadi sramana Buddha sirahe gundhul plonthos ngagem jubah
kuning…” (CSL 1985: 52). Ternyata dapat diketahui bahwa Bhre Kertabhumi
menyamar menjadi pendeta Buddha, berkepala gundul, mengenakan jubah
kuning mengungsi meninggalkan Majapahit. Jadi tokoh tersebut bukannya
“moksa” melenyap ke kahyangan sebagaimana yang dipercaya dalam berbagai
berita tradisi selama ini.
Kandungan sejarah lainnya yang diungkapkan dalam CSL adalah beberapa
alasan mengenai banyaknya penduduk Jawa yang beralih agama, semula
memeluk agama Hindu atau Buddha kemudian memeluk agama Rasul (Islam).
CSL menyatakan, “sabab pranatan lan sipate agama sing anyar sing lagi
sumebar kuwi:
1.Ora kakehan ragad, ora kakehan ngetokake dhuwit, ora kakehan mbuwang barang kang tanpa tanja.
2.Ora kakehan sajen-sajen lan upacara-upacara sing pating clekunik
3.Ora kakehan puja mantra sing nglantur dawa
4.Ora kakehan leladi bekti marang dewa-dewa utama makhluk-makhluk maya
5.Ora ana tatacara sing ngrekasakake raga
6.Mbrastha kasta lan nyuwak panglengkara
7.Sayuk rukun, nglungguhi tatakrama (CSL 1985: 50)
Terjemahannya lebih kurang:
“Sebab pranata dan sifat agama yang baru dan sedang menyebar tersebut (agama Islam):
1.tidak banyak macam-macam, tidak banyak mengeluarkan uang, tidak banyak membuang barang secara sia-sia.
2.tidak banyak sesajian dan upacara yang “njlimet”
3.tidak banyak membaca mantra pemujaan yang berpanjang-panjang
4.tidak banyak macam persembahan kepada dewa-dewa utama makhluk maya
5.tidak ada kegiatan yang menyusahkan dan melelahkan badan
6.menghapuskan kasta dan mengabaikan peringkat kekayaan
7.selalu rukun sesuai aturan…”
Demikianlah penyebaran Islam di Tanah Jawa selain terjadi karena
dilakukan secara sadar oleh para ulama, mubaligh dan Wali Songo;
ternyata menurut CSL penduduk pribumi secara tidak langsung mempunyai
pertimbangan sendiri sehingga mereka berbondong-bondong pindah
meninggalkan agama Hindu, Buddha, dan Hindu-Tantrayana ke agama baru,
yaitu Islam.
Walaupun demikian corak agama Islam di Jawa mempunyai karakternya
tersendiri, proses Islamisasinya tentunya sukar karena kebudayaan
praIslam yang berkembang sebelumnya cukup mendalam (Saksono 1995:
228—29). Agama Islam di Jawa dikembangkan dengan tetap memperhatikan
nilai dan tradisi yang telah dikenal sebelumnya. Berhubung Islam di Jawa
pada awalnya dikembangkan dengan damai, maka dalam uraian CSL terdapat
simpati terhadap perkembangan agama baru tersebut, walau semangat agama
Buddha di dalamnya cukup kentara. Disebutkan pula mengapa Islam cepat
sekali berkembang setelah kejatuhan Bhre Kertabhumi, bahwa penyebabnya
adalah perilaku Adipati Girindrawarddhana dari Kedhiri yang memberontak
menyerbu dan merusak kota Majapahit, banyak penduduk yang dibunuh dan
disiksa, oleh karena itu orang-orang Majapahit mencari persembunyian dan
perlindungan di pusat-pusat pendidikan agama Islam, pondok-pondok
pesantren semakin berkembang pesat (CSL 1985: 52). Mereka takut dengan
perilaku Girindrawarddhana dan orang-orang Kadiri yang menganut
Tantrayana dengan ritual agama yang cukup menyeramkan dalam pandangan
masyarakat awam. Pemberontakan Girindrawarddhana terhadap raja Majapahit
tersebut agaknya menarik untuk diperbincangkan, karena dalam sejarah
Singhasari-Majapahit perseteruan antara pihak Kadiri dengan dinasti
Rajasa keturunan Ken Angrok tersebut telah berkembang lama. Mengenai hal
ini akan diperbincangkan lebih lanjut dalam uraian berikut dalam
risalah ini.
/03/ Bhre Kertabhumi: Kekacauan Internal
Majapahit pada masa pemerintahan Bhre Kertabhumi dalam keadaan yang
begitu lemah, tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat dan kuat. Para
penguasa daerah agaknya telah berdiri bebas dengan tidak ada pengawasan
dari raja Majapahit. CSL menyatakan:
“Kekuwunge Majapahit malih surem, kuncarane praja prebawa lan wibawane
Narendra malih suda, pamrentahane semrawut ruwed moyag-mayig, punggawa
praja ora ana sing tentrem atine, padha pitnah-pinetnah. Kawula cilik
padha prihatin nandang cingkrang mangan kurang, kawuwuhan kampak maling,
begal rajapati ngambra-ambra rina wengi nggegirisi. Para penggedhe akeh
sing wis ora setya maring praja, ora mikir maring susah sengsarane
kawula cilik. Anane mung tansah padha nguja kamurkan kasenengan madad,
main, madon, lan mangani, padha jor-joran nggalang omah brenggi
njenggarang sarta lumbunge magrong-magrong. Kanthi ngiwut negori wit
gedhe-gedhe, ora ngelingi rusake alas sumberan padha mbrabas; kang
wekasan ndadekake banjir bandhang gedhe nganti mbobolake
tanggul-tanggule bengawan Brantas, tegal sawah ratan lan karang padesan
padha krampak keblebeg banyu, rusak morat-marit ora kelar ngramut” (CSL
1985: 51).
(”Pelangi Majapahit berubah suram, keterkenalan, kharisma pejabat,
dan wibawa raja berangsur berkurang, pemerintahan semrawut ruwet,
gonjang-ganjing, pejabat pemerintahan tidak ada yang hatinya tentram,
saling memfitnah. Rakyat kecil semua prihatin, mengalami kekurangan
pangan, kesusahan karena maling, begal, pembunuhan merajalela malam hari
sangat mengkhawatirkan . Banyak para pejabat yang sudah tidak setia
kepada pemerintahan, tidak memikirkan perihal susah sengsaranya rakyat
kecil. Hal yang ada hanyalah senantiasa mengumbar kemurkaan, kesenangan,
madat, main perempuan, dan makan enak, saling bebas membangun rumah
besar megah, serta lumbung yang besar-besar kokoh. Untuk itu menebang
pohon-pohon besar, tidak ingat akan rusaknya hutan sumber air yang
gundul, pada akhirnya menjadikan banjir bandang besar sehingga
membobolkan tanggul-tanggul bengawan Brantas, tegalan, sawah, dataran,
dan tanah pedesaan semuanya penuh terisi air, rusak berantakan tidak
cepat kembali pulih”
Bagian lain dari kitab CSL menguraikan kondisi Majapahit beberapa waktu sebelum keruntuhannya, dinyatakan sebagai berikut:
“Wong-wong Majapahit ora ngira babar pisan yen negarane bakal ana
kedadiyan pokal mrusal ndhadhal-ndhadhal, akal-akal nggawe pepati lan
cilakane wong akeh; kawula cilik kang mung manut ngatut nurut apa
kersane penggedhe-pendhuwuran, ora ngerti ora edhung marang ubeng,
jantrane pusara-praja. Jebulane yen ana owah-owahaning pranatan wong
gedhe rebutan kamulyan, para Bendara rebutan pangwasa, wong pinter padha
mblinger, sing wis padha mukti mamerke suci; kok yan wong cilik sing
dijungkir walik ditengkik digawe benthik, wong-wong sing bodho kaya kebo
dikeleni didu kaya jangkrik, pating pendelik nyebar serik nyebar pepati
tunggal cilik.
Para penggede sing jenggarang mung angger mbegang ngerang-erang,
sing salah jare wong cilik wong sudra sing ngangsa arep ngrebut
pangwasa,… Anane wong cilik mung sarwa salah, mung sarwa ketiban
dhenggung…” (CSL 1985: 52).
(“Orang-orang Majapahit tidak menduga sama sekali apabila negaranya
akan mengalami kerusuhan yang kacau, membuat kematian dan penderitaan
banyak orang; abdi orang rendahan hanya mengikuti menurut apa keinginan
para pembesar dan petinggi, tidak mengerti, tidak paham dan tidak tahu
roda pemerintahan. Akibatnya jika ada perubahan pranata orang-orang
besar berebut kemulyaan, para tuan berebut kekuasaan, orang pintar semua
menyeleweng, orang-orang yang sudah sejahtera memamerkan kecucian,
adapun orang kecil dijungkir balik, diringkus, dibuat tidak berkutik,
orang-orang bodoh seperti kerbau dibohongi, diadu seperti jangkrik,
semua saling melotot menyebar bencana, menyebar kematian orang-orang
kecil.
Para pembesar yang tampil megah tetap saja duduk dengan mantap dan
nyaman, yang salah tetap saja orang kecil, orang sudra yang dianggap
akan merebut kekuasaan… Dinyatakan orang kecil serba salah, hanya
kejatuhan gong besar”).
Berdasarkan uraian CSL tersebut dapat diketahui bahwa Majapahit sudah
demikian kacaunya, bahkan bencana alam yang berupa banjir pun kerapkali
terjadi. Disebutkan pula bahwa bobolnya tanggul Sungai Brantas pernah
terjadi dengan dahsyatnya, sehingga banjir yang melanda sangat besar
melebihi yang biasanya terjadi. Penderitaan dialami rakyat kecil, banyak
yang tewas sedangkan orang kaya dan para pembesar enak-enak menaiki
perahu hilir mudik, ke barat dan ke timur. CSL mengutarakan: “…menawa
besuk kali bengawan Brantas bakal banjir bandhang luwih dening gedhe,
kawula cilik sing luwih cilaka keblebeg banyu ketenggor-tenggor watu,
wong kendel padha kepuntel, wong-wong gedhe ngenak-enak nunggang prau
milir mudhik ngetan ngulon…” (CSL 1985: 51).
Dalam kondisi yang serba tidak baik untuk negara itu, patih Majapahit
di masa pemerintahan Bhre Kertabhumi sudah tidak setia lagi kepada
raja. Patih yang bernama Kertadinaya telah memeluk agama Rasul (Islam)
sehingga tidak memperhatikan keadaan kerajaan, pejabat tinggi lainnya
ialah Tumenggung Warak Jabon menjadi pengikut agama Tantrayana yang juga
dipeluk dan dikembangkan oleh Adipati Kadiri Girindrawarddhana Dyah
Ranawijaya.
Sehingga pada suatu hari di kala fajar pagi hari datanglah pasukan
pemberontak dari Kadiri dipimpin oleh Girindrawarddhana memasuki kota
Majapahit. Pertempuran pun segera terjadi dan dimenangkan oleh pihak
Girindrawarddhana yang agaknya telah dibantu oleh Tumenggung Warak Jabon
dan patih Kertadinaya. Keduanya bukan menyongsong musuh dan memadamkan
kerusuhan tersebut, malah sebaliknya menyingkir jauh-jauh sebelum
pecahnya pertempuran. Tentara Kadiri banyak membunuh penduduk Majapahit
yang setia kepada raja, mereka yang masih selamat mengungsi tidak tentu
arah. Banyak yang kemudian menuju selatan ke Gunung Brahma (Bromo) di
pedalaman, dan ke arah timur terus sehingga mencapai laut sempit dan
menyeberang ke Pulau Pura Dewa (CSL 1985: 52).
Telah disebutkan terdahulu bahwa Raja Kertabhumi juga mengungsi
dengan menyamar sebagai pendeta agama Buddha berambut gundul dan
berjubah kuning, akan tetapi tidak disebutkan ke arah mana sang raja itu
mengungsi. Mungkin saja Bhre Kertabhumi juga mengungsi ke Pulau Bali
bersama banyak penduduk Majapahit lainnya, atau juga berdiam di suatu
lokasi di pedalaman Jawa bagian timur hingga akhir hayatnya.
/04/ Pelengkap Sejarah Akhir Majapahit
Berdasarkan pemerian Carita Lasem, dapat diketahui secara rinci penyebab
jatuhnya kota Majapahit dari penguasa Bhre Kertabhumi. Majapahit runtuh
didahului dengan keadaan yang kacau, tidak ada kekuasaan yang memadai,
rendahnya wibawa para pejabat, dan tidak tegaknya hukum, sehingga
terjadi kemerosotan kehidupan dan timbulnya kejahatan di mana-mana.
Keadaan buruk itu diperparah oleh banjir yang kerapkali terjadi akibat
meluapnya air dari Sungai Berantas.
Meluasnya agama Islam secara cepat di kalangan masyarakat Majapahit
dan Jawa bagian timur masa itu terjadi akibat kemauan masyarakatnya
sendiri yang memerlukan agama Islam. Beberapa alasan menurut CSL telah
dikemukakan di bagian terdahulu, dan di bagian lain CSL dinyatakan bahwa
penduduk berbondong-bondong masuk pesantren-pesantren demi alasan
keamanan dan kesejahteraan kehidupan mereka. Oleh karena itu
perkembangan pesantren begitu pesat, jumlahnya bertambah banyak
menggantikan peran wanaśrama-mandala, kadewaguruan, atau juga karsyan.
Pendidikan di pesantren tetap melanjutkan tata cara pendidikan sisya di
mandala atau kadewaguruan. Di lingkungan pendidikan yang terletak jauh
dari keramaian di lereng gunung berhutan lebat itu tinggal seorang guru,
mahapandita, atau siddhaguru, dewaguru yang tinggi ilmunya, dibantu
oleh para abdinya terdiri dari ubwan (para ajar pendeta perempuan),
manguyu para abdi dewaguru yang merupakan pendeta laki-laki, dan dalam
jumlah banyak para kaki (murid lelaki) dan para endang (murid perempuan)
yang merupakan para pendeta muda, mereka sedang belajar memperdalam
ilmu agama, karena jumlah penghuninya cukup banyak, maka
mandala/kadewaguruan tersebut membentuk suatu pedukuhan di lereng gunung
(Santiko 1990: 163). Tentu saja yang diajarkan adalah perihal agama
Hindu atau Buddha, atau juga hakekat persatuan Hindu-Buddha. Dalam
lingkungan pesantren juga sama, kyai sepuh yang tinggi ilmu agama
Islamnya tinggal bersama dengan para pembantunya yang mendidik sejumlah
santri. Masalah sumber pangan agaknya juga melanjutkan tradisi mandala,
yaitu para santri menanam sendiri sejumlah tanaman pangan yang dapat
dimanfaatkan oleh penghuni pesantren secara bersama. Oleh karena itu
banyak penduduk Majapahit terutama kalangan mudanya yang tertarik
memasuki pesantren demi pendidikan dan kehidupannya yang lebih baik dan
aman, sementara itu kehidupan di luar pesantren sangat mengkhawatirkan
dengan segala kekacauan Majapahit yang tidak dapat diatasi oleh
kekuasaan kerajaan.
Keadaan Majapahit yang kalang kabut agaknya harus segera diakhiri,
wibawa kerajaan harus segera dipulihkan kembali, dan raja lama Bhre
Kertabhumi harus segera disingkirkan, mungkin demikian yang ada dalam
pikiran Dyah Ranawijaya. Ia lalu mengerahkan tentara Kadiri untuk
menyerang kota Majapahit, dan jatuhlah kerajaan yang telah didirikan
oleh Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya ke tangan orang-orang
Kadiri.
Mengenai tokoh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya cukup menarik untuk
diperbincangkan, para sarjana Belanda antara lain N.J.Krom (1923, 1931),
W.F.Stutterheim (1932, 1952), dan B.J.O.Schirieke (1957) dalam
penelitian terdahulu menyatakan bahwa Dyah Ranawijaya adalah anggota
dinasti baru Girindrawarddhana yang muncul di akhir Majapahit. Akan
tetapi pendapat para ahli Belanda tersebut dibantah oleh Hasan Djafar
yang menyatakan bahwa di akhir Majapahit tidak ada dinasti baru
Girindrawarddhana, nama Girindrawarddhana yang dipakai oleh raja-raja
Majapahit akhir sebenarnya menyatakan bahwa mereka adalah penerus
dinasti Girindra (Girindrawangsa) atau dengan sebutan lain Rajaśawangsa.
Dengan demikian raja-raja yang memakai gelar Girindrawarddhana pada
namanya itu sebenarnya anggota Rajaśawangsa pula, keturunan Ken Angrok
(Djafar 1978: 85). CSL memang tidak menjelaskan jatidiri dari
Girindrawarddhana dari Kadiri, akan tetapi terdapat hal menarik perihal
agama yang dianut oleh tokoh tersebut. Dinyatakan bahwa
Girindrawarddhana menganut agama Tantrayana. Mengenai agama tersebut
jelas berbeda dengan agama yang dianut oleh Bhre Kertabhumi, raja
Majapahit tersebut agaknya menganut agama Hindu-śaiwa. Tantrayana adalah
salah satu sekte dalam Hinduisme yang bertujuan bersatu dengan dewata
pada waktu manusia tersebut masih hidup. Dalam agama Buddha juga dikenal
sekte Tantrayana Mantrayana dalam ajaran Buddha Mahayana. Sekte
Tantrayana baik Hindu ataupun Buddha mengarcakan ikon-ikon dewa mereka
dalam wujud yang menyeramkan (krodha atau ugra).
Akan halnya Girindrawarddhana, dari julukannya itu dapat diketahui
dia pemeluk Tantrayana Hindu, sebab Girindra atau giri + indra artinya
“raja gunung” yang juga sama dengan Siwa sebagai raja gunung, penguasa
gunung. Girindrawarddhana berarti penerus atau “keturunan raja gunung”,
atau keturunan Siwa. Sangat mungkin tokoh tersebut mempunyai ambisi
untuk memperluas pengaruh Tantrayana kepada penduduk Majapahit dengan
menyerang Majapahit dan menurunkan Bhre Kertabhumi dari tahtanya.
Menurut CSL yang terjadi adalah penduduk Majapahit tetap tidak mau
menganut Tantrayana, justru mereka berpencar meninggalkan kota mengungsi
ke berbagai arah, ada yang ke pegunungan Anjasmoro, Welirang, dan
Penanggungan, ke Bromo, menyeberang ke Bali dan dan banyak juga yang
segera memasuki agama Islam karena mereka berlindung di
pesantren-pesantren di wilayah pantai utara Jawa bagian timur. Serangan
Girindrawarddhana tersebut sejatinya menjadi salah satu sebab makin
banyaknya penduduk Majapahit yang beralih agama memeluk agama Islam.
Majapahit sebagai kota besar masih terus bertahan setelah direbut
oleh Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya, dia sendiri agaknya memindahkan
kedudukannya yang semula di Kadiri lalu menjadi penguasa Majapahit
dengan julukan Paduka Śrî Mahāraja Śrî Wilwatikta-Daha-Janggala-Kadiri.
Jatuhnya Majapahit oleh Girindrawarddhana yang diperingati oleh Serat
Kanda dengan ungkapan “Sirna ilang kertaning bhumi” sebenarnya tidak
hanya disebabkan oleh alasan politik, perebutan kekuasaan melainkan juga
ada alasan lain, yaitu penyebaran pengaruh agama Tantrayana di
Majapahit. Upaya Girindrawarddhana untuk memperluas pengaruh Tantrayana
di Majapahit justru gagal, karena banyak penduduknya yang bubar tidak
lagi mau menetap di dalam kota itu.
/05/ Epilog
Kitab Carita (Sejarah) Lasem sebagai hasil historiografi daerah ternyata
penting untuk diperhatikan. Kitab tersebut tidak hanya menguraikan
tentang peranan daerah Lasem di masa silam, masa Majapahit; namun juga
mengutarakan adanya perspektif lain tentang jatuhnya Majapahit pada
tahun 1400 Śaka ke tangan penguasa Kadiri. Dalam CSL dijelaskan bahwa
jatuhnya Majapahit karena kekacauan internal yang sangat luar biasa di
Majapahit sendiri. Para pejabat saling memfitnah, dan iri hati terhadap
yang lain (CSL 1985: 50). Mereka juga berlomba-lomba memperkaya diri,
tidak memperhatikan tugas-tugas yang harus dikerjakan, akibatnya rakyat
kecil mengalami penderitaan luar biasa, susah sandang dan pangan.
Agama Islam berkembang tanpa paksaan, rakyat Majapahit menerima agama
tersebut secara sukarela karena berbagai alasan logis jika dibandingkan
dengan agama sebelumnya, Hindu, Buddha, atau Hindu-Tantrayana yang
cukup rumit dalam ritualnya. Perkembangan Islam dipercepat juga dengan
sistem pendidikan pesantren, rakyat jelata banyak yang memasuki
pesantren dan menjadi santri karena alasan keamanan dan juga
kesejahteraan hidup.
Dalam CSL disebutkan juga tokoh Dang Hyang Asthapaka, tokoh tersebut
dikenal sebagai pendeta Buddha yang berasal dari Campa dan bermukin di
Taman Banjar Mlathi, Lasem. Ia meramalkan bahwa pada suatu ketika
mengalami kekacauan yang luar biasa dan timbul pemberontakan yang
menghancurkan kota Majapahit (CSL 1985: 52). Tokoh Dang Hyang Asthapaka
dikenal juga di Bali sebagai pendeta Buddha yang berasal dari Majapahit.
Bersama dengan Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Asthapaka dipandang
sebagai tokoh pembaharu kehidupan keagamaan di Bali, keduanya hidup
dalam zaman pemerintahan Raja Waturenggong (1460—1558 M). Dalam Babad
Dalem diberitakan bahwa Dang Hyang Nirartha mendarat di Bali di Desa
Kapurancak tahun 1489 M (Rai Putra 1995: 34), pada waktu itu Majapahit
telah berada di bawah pemerintahan Dyah Ranawijaya.
Dyah Ranawijaya Adipati Kadiri yang menyerang kota Majapahit ternyata
beragama Tantrayana, sekte Hindu yang melakukan ritus dengan cukup
menyeramkan. Rakyat Majapahit juga tidak menyukai agama tersebut, mereka
menghindari Dyah Ranawijaya yang kemudian menduduki kota Majapahit.
Alasan Dyah Ranawijaya untuk merebut Majapahit ternyata tidak
semata-mata perebutan kekuasaan antara sesama anggota dinasti
Girindrawangsa atau Rajasawangsa keturunan Ken Angrok, akan tetapi juga
bermotifkan upaya menyebarkan Tantrayana di wilayah Majapahit.
Perilaku Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya sebagai penguasa daerah
yang mengadakan pemberontakan dan menyerang kedaton tempat persemayaman
Sri Maharaja, sangat mirip dengan perilaku Jayakatwang penguasa
Gelang-gelang yang memberontak, menyerang, dan menewaskan raja
Singhasari terakhir, Krtanagara dalam tahun 1292 M. Kedua tokoh
pemberontak tersebut berjaya dalam usahanya, namun Jayakatwang tidak
lama menjadi raja di tanah Jawa, ia berhasil dikalahkan oleh gabungan
tentara Tartar dan para pengikut Raden Wijaya. Akan hanya Dyah
Ranawijaya berhasil menjadi Sri Maharaja selama beberapa puluh tahun
kemudian, hingga Majapahit benar-benar runtuh antara tahun 1518—1525 M.
Pada akhirnya mungkin juga masih banyak karya historiografi daerah
lainnya seperti CSL yang berupa naskah, namun hingga sekarang masih
belum ditelaah lebih lanjut. Di masa mendatang kajian terhadap
kitab-kitab yang menguraikan tentang sejarah daerah agaknya perlu
dicermati, sebab di dalamnya bisa saja mengandung data sejarah yang
cukup penting untuk pelurusan, perbaikan, atau bersifat melengkapi
uraian sejarah yang telah dikenal.
DAFTAR PUSTAKA
Djafar, Hasan, 1978, Girīndrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda.
Hardjowardojo, Pitono, 1965, Pararaton. Djakarta: Bhratara.
Kamzah, R.Panji, 1985. Carita (Sejarah) Lasem Gubahanipun R.Panji
Kamzah ing Tahun Masehi 1858 (taun Jawi 1787) Katurun/Kajiplak dening
R.Panji Karsono ing taun Masehi 1920 (taun Jawi 1857). Semarang:
Pambabar Pustaka.
Pigeaud, G.Th.Pigeaud, 1960, Java in The 14th Century A Study in
Cultural History: The Nāgara-Kěrtagama By Rakawi Prapañca of Majapahit,
1365 A.D. Volume I: Javanese Texts in Transcription. The Hague: Martinus
Nijhoff.
Rai Putra, I.B., 1995.Babad Dalem. Denpasar: Upada Sastra.
Saksono,Widji, 1995, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah atas Metode Dakwah Wali Songo. Bandung: Mizan.
Santiko, Hariani, 1990. “Kehidupan Beragama Golongan Rsi di Jawa”,
dalam Edi Sedyawati dkk.(Penyunting), Monumen: Karya Persembahan Untuk
Prof.Dr.R.Soekmono. Lembaran Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No.11 Edisi
Khusus. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Halaman 156—171.